Rabu, 20 Juni 2012

Perubahan paradigma politik dan pendidikan pada era reformasi

Pasca Reformasi tahun 1998, memang ada perubahan fundamental dalam sistem pendidikan nasional.  Perubahan sistem pendidikan tersebut mengikuti perubahan sistem pemerintah yang sentralistik menuju desentralistik atau yang lebih dikenal dengan otonomi pendidikan dan kebijakan otonomi nasional itu mempengaruhi sistem pendidikan kita. Sistem pendidikan kita pun menyesuaikan dengan model otonomi. Kebijakan otonomi di bidang pendidikan otonomi pendidikan kemudian banyak membawa harapan akan perbaikan sistem pendidikan kita. Kebijakan tersebut masih sangat baru, maka sudah barang tertentu banyak kendala yang masih belum terselesaikan. 
Otonomi yang didasarkan pada   UU No. 22 tahun 1999, yaitu memutuskan suatu keputusan dan atau kebijakan secara mandiri. Otonomi sangat erat kaitanya dengan desentralisasi. Dengan dasar ini, maka otonomi yang ideal dapat tumbuh dalam suasana bebas, demokratis, rasional dan sudah barang tentu dalam kalangan insan-insan yang “berkualitas”. Oleh karena itu, rekonstruksi dan reformasi dalam Sistem Pendidikan Nasional dan Regional, yang tertuang dalam GBHN 1999, juga telah dirumuskan misi pendidikan nasional kita,  yaitu mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu, guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin, bertanggung jawab, berketerampilan serta menguasai iptek dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia
Babarapa kalangan pakar dan praktisi pendidikan, mencermati kebijakan otonomi pendidikan sering dipahami sebagai indikasi kearah “liberalisasi” atau lebih parah lagi dikatakan sebagai indikasi kearah “komersialisasi pendidikan”. Hal ini, menurut Suyanto, semakin dikuatkan dengan terbentuknya Badan Hukum Pendidikan [BHP] yang oleh beberapa pengamat dianggap sebagai pengejawantahan dari sistem yang mengarah pada “liberalisasi pendidikan”
Berbagai problem fundamental yang dihadapi pendidikan nasional saat ini, yang tercermin dalam “realitas” pendidikan yang kita jalan. Seperti persoalan anggaran pendidikan, kurikulum, strategi pembelajaran, dan persoalan output pendidikan kita yang masih sangat rendah kualitasnya. Problem-problem pendidikan yang bersifat metodik dan strategik yang membuahkan output yang sangat memprihatinkan. Output, pendidikan kita memiliki mental yang selalu tergantung kepada orang lain. Output pendidikan kita tidak memiliki mental yang bersifat mandiri, karena memang tidak kritis dan kreatif. Akhirnya, output yang pernah mengenyam pendidikan, menjadi “pengangguran terselubung”.
  1. B.     Pengalaman Pendidikan Pasca Reformasi
Kebijakan pendidikan kita, berpikir dalam acuan keseragaman.  Dapat dikatakan bahwa selama ini kebijakan pendidikan semuanya terpusat. Kurikulum ditetapkan di pusat, tenaga pendidikan ditentukan dari pusat, sarana dan prasarana pendidikan diberikan dari pusat, dana pendidikan ditentukan dari pusat, semuanya diseragamkan dari pusat.  Maka yang terjadi adalah masyarakat jadi pasif tidak tahu dan tidak dapat berkecimpung di dalam kehidupan pendidikan anak-anak mereka. Padahal, masyarakat  memiliki harapan dan dampak terhadap upaya pendidikan di Indonesia , walaupun mereka mempunyai perbedaan dalam status sosial, peranan dan tanggungjawab.  Hal yang sangat ironis lagi, adalah menempatkan pendidikan sebagai kerja “non akademik”, pendidikan diselenggarakan dengan “otorita” kekuasaan “administratif-birokratis”, belum menempatkan pendidikan sebagai kerja “akademik” dan penyelenggaraan pendidikan dibawah “otorita keilmuan”.
Sistem pendidikan kita terlihat masih bersifat tambal sulam, mulai dari kebijakan kurikulum, manajemen, sistem pembelajaran, tuntutan kualitas guru, tuntutan fasilitas dan dana pendidikan, kurang memliki “prioritas” yang ingin dicapai. Sementara  secara umum, pendidikan seringkali dipandang sebagai investasi modal jangka panjang yang harus mampu membekali “pembelajar” untuk menghadapi kehidupan masa depannya.  Pendidikan harus mampu mencerahkan “pembelajar” dari ketidak tahuan menjadi tahu dan memberdayakan, artinya pendidikan  mampu membuat “pembelajar” berhasil dalam kehidupan.  Maka, berbicara soal pendidikan adalah bicara “soal kualitas kehidupan “pembelajar”, soal kualitas sumberdaya manusia [SDM], yang akan menjadi tantangan dan sekaligus peluang bagi bangsa Indonesia untuk ikutan bergulir sejajar dengan bangsa lain. 
  1. C.     Perubahan Paradigma Pendidikan Pasca Reformasi
Pada era reformasi, masyarakat Indonesia  menginginkan perubahan dalam semua aspek kehidupan bangsa. Berbagai terobosan telah dilakukan dalam penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan, dengan kata lain diperlukan paradigma-paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan perubahan masyarakat tersebut. Katakan saja, pembaharuan pada sektor pendidikan yang memiliki peran strategis dan fungsional juga memerlukan paradigma baru yang harus menekankan pada perubahan cara berpikir dalam pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan.
Paradigma tersebut harus berimplikasi pada perubahan perspektif dalam pembangunan pendidikan, mulai dari perspektif yang menganggap pendidikan sebagai sektor pelayanan umum ke perspektif pendidikan sebagai suatu investasi produk yang mampu mendorong pertumbuhan masyarakat di berbagai bidang kehidupan.  Sebab pendidikan bukan bidang yang terlepas dari “kehidupan” lainnya
Paradigma pendidikan dalam pembangunan yang diikuti para penentu kebijakan pemerintah kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis.
Dalam hal ini, tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu.  Hal ini, memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal kita akan mampu mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem dunia kerja yang semakin kompleks. Tetapi, mungkin saja pendidikan kita tidak mempu menjawab tantangan tersebut, sebab pada kenyataannya, kemampuan kompetensi yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada.
Akhir dari tulis ini, paparan yang dikemukakn di atas, dapat dikatakan bahwa pendidikan nasional kita perlu adanya filosofi, visi, dan misi pendidikan Indonesia yang dapat menggambarkan paradigma yang relevan dengan jiwa reformasi yang di dalamnya telah tumbuh sistem demokratisasi dan kebebasan yang beradab dan beraklak yang sedang kita kembangkan sekarang ini dalam berbagai bentuk.  Maka sudah tentu dalam aspek politik pendidikan dan Kebudayaan harus mendukung jiwa reformasi tersebut, sehingga pendidikan di Indonesia dapat mewujudkan manusia Indonesia Baru yang berkepribadian kuat, berkualitas, kritis, inivatif, toleransi dalam fluralisme dan siap bersaing dengan dunia luar.


Paradigma Baru Politik Pasca Perubahan UUD 1945

Era reformasi yang dimulai pada tahun 1999, membawa perubahan-perubahan yang mendasar dalam sisitem pemerintahan dan ketatanegaraan kita sebagaimana nampak pada perubahan yang hampir menyeluruh atas Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan undang-undang dasar ini, sebenarnya terjadi demikian cepat tanpa dimulai oleh sebuah perencanaan panjang. Hal ini terjadi karena didorong oleh tuntutan perubahan-perubahan yang sangat kuat pada awal reformasi antara lain tuntutan atas kehidupan negara dan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih demokratis, penegakkan hukum yang lebih baik, penghromatan atas hak-hak asasi manusia dan berbagai tuntutan perubahan-perubahan lainnya.
Terhadap berbagai tuntutan tersebut para anggota MPR meresponsnya dengan memulai perubahan-perubahan itu dengan perubahan terhadap sesuatu yang mendasar yaitu perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang didasarkan pada pemikiran antara lain bahwa salah satu sumber permaslahan yang menimbulkan problem politik dalam penyelenggaraan pemerintahan negara selama ini adalah pada kelemahan Undang-Undang Dasar 1945 antara lain:
v UUD 1945 menyerahkan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden;
v Tidak adanya prinsip check and balances dalam UUD 1945 antara lain menyerahkan kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat;
v UUD 1945, terlalu fleksibel menyerahkan penyelenggaraan negara yang diserahkan pada semangat para penyelenggara negara yang dalam pelaksanaannya banyak disalahgunakan;
v Pengaturan mengenai hak asasi manusia yang minim; serta
v Kurangnya pengaturan mengenai pemilu dan mekanisme demokrasi.
Oleh karena itu, perubahan UUD 1945 yang pertama pada sidang umum tahun 1999, terjadi dalam waktu yang sangat singkat yaitu hanya sekitar satu minggu perdebatan pada tingkat Panitia Ad Hoc, menghasilkan perubahan penting terhadap 9 pasal penting yang terkait dengan penyeimbangan kedudukan Presiden dengan DPR.
Walaupun demikian, kalau kita kembali melihat sejak awal pemerintahan Presiden Habibie ide perubahan UUD 1945 telah dimulai dan bahkan pernah dibentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Prof.DR. Bagir Manan untuk mengkaji perubahan UUD ini dan telah melakukan serial diskusi yang cukup panjang serta telah menghasilkan berbagai pemikiran terhadap perubahan undang-undang dasar ini dalam sebuah buku. Karena itu, ketika perdebatan pada MPR mengenai perubahan undang-undang dasar ini sebagian besar fraksi telah menyiapkan rancangan perubahan yang menyeluruh atas undang-undang dasar 1945 itu. Karena waktu yang tidak memungkinkan, maka perubahan pertama itu hanya terjadi terhadap beberapa pasal yang terkait dengan pembatasan kekuasaan Presiden dan penguatan DPR, dan perubahan lainnya dicadangkan pada sidang tahunan berikutnya.
Karena begitu luasnya perdebatan awal ketika memulai perubahan ini, untuk menghindari disorientasi dalam perubahan-perubahan yang akan dilakukan, seluruh fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada saat itu menyepakati lima prinsip yaitu:
a. tidak mengubah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
b. tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. mempertegas sistem pemerintahan Presidensial;
d. penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan kedalam pasal-pasal;
e. perubahan dilakukan dengan cara adendum.
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yang telah dilakukan selama 4 kali -Perubahan Pertama tahun 1999, Perubahan Kedua tahun 2000, Perubahan Ketiga tahun 2001 dan Perubahan Keempat tahun 2002- telah membawa implikasi politik yang sangat luas dalam system ketatanegaraan Indoneisa.
Kalau kita membaca dengan cermat perubahan tersebut, maka akan nampak bahwa empat kali perubahan tersebut merupakan satu rangkaian perubahan yang dilakukan secara sistematis dalam rangka menjawab tantangan baru kehidupan politik Indonesia yang lebih demokratis sesuai dengan perkembangan dan perubahan masyarakat. Tuntutan perubahan system politik dan ketatanegaraan dalam bentuk perubahan Undang Dasar 1945, adalah pesan yang sangat jelas disampaikan oleh gerakan reformasi yang dimulai sejak tahun 1998.
Keempat perubahan ini, mencakup aspek yang sangat luas dan mendalam baik dari jumlah pasal yang diubah dan ditambah maupun dari substansi perubahan yang terjadi. UUD 1945 sebelum perubahan hanya terdiri dari 16 bab, 37 pasal dan 47 ayat ditambah 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan. Setelah 4 kali perubahan, UUD 1945 menjadi 20 bab, 73 pasal, 171 ayat ditambah 3 pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan. Substansi perubahan menytentuh hal-hal yang sangat mendasar dalam system politik dan ketatanegaraan yang berimplikasi pada perubahan berbagai peraturan perundangan dan kehidupan politk Indonesia di masa depan. Dalam kerangka inilah berbagai perundang-undangan baru bidang politik disusun, yaitu UU Partai Politik, UU Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta UU Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Keanggotaan ,Kewenangan MPR dan Hubungan MPR dengan lembaga Lain
Terdapat dua perubahan mendasar pada MPR, setelah perubahan yaitu perubahan susunan keanggoataan serta perubahan kewenangan MPR, yang berimplikasi pada perubahan dalam tata hubungannya dengan lembaga-lemabaga Negara yang lainnya.
a. Keanggotaan MPR
Sebelum perubahan, keanggoatan MPR terdiri dari Anggota DPR ditambah dengan Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Merujuk pada masa Orde Baru anggota MPR berjumlah 1000 orang yang terdari dari 500 anggota DPR (400 orang yang dipilih melalui pemilu dan 100 dari ABRI yang diangkat), 5 orang utusan daerah dari setiap propinsi (yaitu 160 untuk 27 Provinsi), dan sisanya adalah utusan golongan.yang berjumlah 340 orang. Dari susunan keanggotaan tersebut nampak sekali bahwa terdapat 440 orang anggota MPR yang diangkat Presiden, 160 yang dipilih oleh DPRD dari 27 Provinsi (pada periode ini Utusan Daerah bergabung dalam satu fraksi tersendiri sedangkan utusan Golongan melebur dalam fraksi Partai Politik yang ada) dan 400 orang yang dipilih dalam pemilu. Konfigurasi keanggotaan ini menunjukkan dominasi Presiden yang sangat kuat terhadap MPR.
Pada masa reformasi sekarang ini, sejak kejatuhan Soeharto, keanggotaan MPR, diubah lagi yaitu hanya terdiri dari 700 orang dimana jumlah yang diangkat oleh Presiden hanya 69 orang anggota Utusan Golongan yang dipilih oleh KOmisi Pemilihan Umum (KPU), (dalam pengangkatan ini Presiden hanya menyesahkan secara administratif sebagai Kepala Negara, yaitu sama dengan pengangkatan anggota Utusan Daerah yang dipilih oleh DPRD Provindi dan Anggota DPR yang dipilih dalam Pemilu). Perubahan ini membawa implikasi pada betapa minimnya pengaruh Presiden terhadap MPR.
Setelah Perubahan UUD, anggota MPR hanya terdiri dari anggota DPR (seluruhnya dipilih melalui pemilu) dan anggota DPD yang merupakan wakil dari daerah-daerah yang dipilih secara langsung dalam pemilu oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Tidak ada lagi anggota MPR yang diangkat.
Perubahan ini memperbaiki susunan anggota MPR, sehingga lebih demokratis dan lebih menunjukan representasi rakyat yang lebih jelas dalam lembaga perwakilan.
b. Kewenangan MPR
Filosofi kewenangan dan status MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan tercermin dalam pasal 1 ayat 2, yang berbunyi : ” Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Lebih lanjut kewenangan MPR adalah menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara (diatur dalam pasal 3), mengangkat Presiden dan Wakil Presiden (pasal 6 ayat 2), kemudian diperkuat oleh Penjelasan UUD 1945.
Ketentuan ini menunjukkan dengan jelas bahwa posisi MPR sangat dominan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yaitu sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Ketika MPR terbentuk seakan-akan kedaulatan rakyat itu diambil alih sepenuhnya oleh MPR dan MPR memegang supreme power dalam ketatanegaraan Indonesia. Hal ini berimplikasi pada hubungan yang tidak seimbang antara lembaga-lembaga negara (tidak ada check and balances). Siapa yang dapat mempengaruhi dan mendominasi MPR maka dialah yang paling berkuasa. Jika Presiden dapat menguasai atau mempengaruhi MPR maka pasti dia sangat berkuasa (seperti yang terjadi pada masa Orde Baru) dan siapa yang tidak mampu mendominasi dan menguasai MPR, maka dia akan menjadi sangat lemah (seperti kasus Presiden Habibie dan Abdurrahman Wahid).
Dalam kerangka pemikiran ini pul;a seluruh lembaga-lembaga Negara yang lain harus melapor kepada MPR, karena MPR adalah sumber kekuasaan Negara, yang mendistribusikan kekuasaannya pada lembaga-lembaga Negara itu.
Perubahan UUD 1945, telah merubah filosofi dasar sumber kewenangan MPR, sebagaimana tercermin dalam perubahan pasal 1 ayat 2, yaitu :Kedaulatan ditangan rakyat dan dijalankan menurut Undang-Undang Dasar”. Implikasi perubahan ini adalah direduksinya kewenangan MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat sepenuhnya, menjadi kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD ini, yaitu oleh lembaga-lembaga Negara yang diatur secara jelas kewenangannya dalam UUD. Presiden menjalankan kedaulatan rakyat, untuk menjalankan pemerintahan Negara, karena dia dipilih langsung juga oleh rakyat. DPR dan DPD menjalankan kedaulatan rakyat dalam membentuk undang-undang dan mengawasi Presiden. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi menjalan kedaulatan rakyat dalam bidang yudikatif dan peradilan. Demikian pula terhadap lembaga-lembaga Negara lainnya yang diatur dalam UUD ini.
Kewenangan MPR, dipertegas yaitu hanya: mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden, memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabtannya menurut UUD (pasal 3 UUD) serta memilih Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan Wakili Presiden dalam masa jabatannya (pasal 8 ayat (2)). Dengan demikian MPR kehilangan kewenangannya untuk mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, menetapkan garis-garis besar daripada haluan serta memberhentikan Presiden karena pelanggaran garis-garis besar haluan negara.
c. Hubungan MPR dengan lembaga Negara lainnya
Dengan perubahan ini tidak lagi dikenal lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara dalam hubungan antar lembaga negara. Semua lembaga negara tidak ada yang tinggi dan tidak ada yang rendah, akan tetapi kedudukannya dilihat pada fungi dan kewenangannya yang diberikan oleh UUD. Karena itu, lembaga-lembaga negara lainnya tidak lagi melapor kepada MPR, karena MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara untuk dilaksanakan oleh seluruh lembaga negara yang lainnnya.
Kerangka hubungan antar lembaga negara yang dibangun dalam perubahan UUD ini adalah prinsip check and balances. Artinya hubungan yang seimbang antara lembaga Negara yang masing-masing terkontrol oleh yang lainnya berdasarkan ketentuan UUD.
Posisi MPR sebenarnya adalah “forum” sidang gabungan antara anggota DPR dengan anggota DPD. MPR hanya bersidang pada saat-saat dibutuhkan, yaitu ketika melantik Presiden dan atau Wakil Presiden, memberhentikan Presiden, mengubah dan menetapkan UUD, serta memilih Wakil Presiden dalam hal kekosongan jabatan Wakil Presiden. Jadi, tidak ada lagi istilah Sidang Umum serta Sidang Tahunan MPR, yang ada adalah Sidang MPR. Walaupun demikian, karena MPR memiliki kewenangan-kewenangan yang mandiri, maka kedudukannya menjadi sebuah lembaga Negara tersendiri.
Setelah perubahan UUD hubungan antara MPR dengan lembaga negara lainnya hanya terlihat jelas dalam hubungannya dengan Presiden dan Wakil Presiden, yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden, memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD serta memilih Wakil Presiden dalam hal kekosongan jabatan Wakil Presiden.
Reposisi Dewan Perwakilan Rakrat
Reposisi DPR, dilakukan dengan maksud agar menempatkan DPR dalam posisi yang tepat sebagai lembaga Negara yang memiliki kewenangan dibidang legislative. Karena itu DPR, diberikan kekuasaan untuk membentuk undang-undang [Pasal 20 (1)].
Sebelum perubahan, kekuasaan membentuk undang-undang ini dimiliki oleh Presiden [Pasal 5 ayat (1) sebelum perubahan]. Sedangkan DPR diposisikan sebagai lembaga negara yang memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang itu. Kedudukan ini berakibat pada hubungan yang tidak seimbang antara Presiden dengan DPR, dimana Presiden disamping memegang kekuasaan pemerintahan negara juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Hal mengakibatkan pada tidak seimbangnya kekuasaan Presiden dengan DPR. Padahal DPR sebenarnya adalah representara rakyat yang terpilih melalui pemilu. Akibatnya dapat dilihat selama masa pemerintahan Orde Baru Presiden dapat mengabaikan rancangan undang-undang yang sudah disetujui oleh DPR bersama pemerintah di DPR, dan rancangan undang-undang itu tidak disahkan.
Perubahan UUD juga mempertegas fungsi pengawasan dari DPR, yaitu berupa hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat [Pasal 20A ayat (2)]. Setiap anggota DPR juga diberikan jaminan hak yang kuat dalam konstitusi yaitu hak mengajukan pertanyaan, usul dan pendapat serta hak imunitas [Pasal 20A ayat (3)]. Penegasan ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan hukum yang lebih kuat bagi kewenangan DPR yang diatur dalam konstitusi. Ketiga hak ini, sebelumnya hanya diatur dalam undang-undang.
Perubahan penting lain mengenai DPR, adalah diperjelasnya mekanisme rekruitmen seluruh anggota DPR yang dipilih melalui pemilihan umum. Dengan demikian tidak ada lagi anggota DPR yang diangkat seperti pada masa yang lalu yaitu dari ABRI/TNI-POLRI. Dengan perubahan ini memberikan jaminan dan legitimasi yang kuat kepada DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Bagaimana system pemilu untuk memilih anggota DPR, tidak diatur dalam UUD, tetapi akan diatur dalam undang-undang, agar memberikan keleluasaan kepada DPR dan Presiden untuk memilih system pemilu yang tepat sesui keadaan dan kondisi masyarakat. Persoalan yang paling mendasar bagi sebuah pemilu yang baik adalah sejauhmana output pemilu itu menghasilkan wakil-wakil yang benar-benar mewakili rakyat, memahami kepentingan dan hati nurani rakyat.
Dewan Perwakilan Daerah, Sebuah Institusi Negara yang Baru
a. Kewenangan dan Posisi DPD Dalam Struktur Ketatanegaraan
DPD merupakan lembaga negara yang memiliki kedudukan yang sama dengan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Perbedaannya pada penekanan posisi anggota DPD sebagai wakil dan representasi dari daerah (provinsi). Setiap anggota DPD selalu berpikir tentang kepentingan daerahnya tanpa terhambat oleh garis dan kepentingan partai politik, karena anggota DPD adalah dari perseorangan bukan wakil partai politik. Pembentukan DPD sebagai salah satu institusi negara yang baru, adalah dalam rangka memberikan kesempatan kepada orang-orang daerah untuk ikut mengambil kebijakan dalam tingkat nasional, khsususnya yang terkait dengan kepentingan daerah. Pembentukan ini diharpkan akan lebih memperkuat integrasi nasional serta semakin menguatnya perasaan kebersamaan sebagai sebuah bangsa yang terdiri dari daerah-daerah.
Walaupun kedudukan DPD adalah sejajar dengan kedudukan DPR dalam struktur ketatanegaraan kita, tetapi kewenangannya, baik kewenangan bidang legislasi maupun bidang pengawasan adalah sangat terbatas. Kewenangan legislasi yang dimiliki oleh DPD adalah dapat mengajukan kepada DPR dan ikut membahas rancangan undang-undang yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Disamping itu DPD, memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.Apakah DPD memiliki voting right atas RUU yang ikut dibahasnya itu?. Tidak ditegaskan dalam UUD ini. Akan tetapi jika memperhatikan ketentuan pasal 20 UUD, maka voting right yang penuh hanya dimiliki oleh DPR.
Dalam bidang pengawasan DPD, melakukan pengawasan atas pelaksanaan berbagai undang-undang yang ikut dibahas dan diberikan pertimbangan oleh DPD. Namun kewenangan pengawasan ini menjadi sangat terbatas, karena hasil pengawasan itu hanya untuk disampaikan kepada DPR untuk bahan pertimbangan dan ditindaklanjuti.
Akan tetapi pada sisi lain anggota DPD ini memiliki, kedudukan dan kewenagann yang sama dengan anggota DPR, ketika bersidang dalam kedudukannya sebagai anggota MPR, baik dalam perubahan UUD, pemberhentian Presiden maupun pemilihan Wakil Preside.
b. Kenggotaan DPD
UUD 1945 (setelah perubahan), hanya menentukan bahwa jumlah anggota DPD dari setiap provinsi adalah sama dan jumlah seluruh anggotanya tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR (pasal 22C ayat (2)).
Dengan menetapkan jumlah wakil daerah yang sama dari setiap provinsi pada keanggotaan DPD, menunjukkan kesamaan status dari provinsi-provinsi itu sebagai bagian integral dari negara Inddonesia. Tidak membedakan provinsi yang banyak atau sedikit penduduknya maupun yang besar atau kecil wilayahnya. Penentuan jumlah anggota DPD yang tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR, mengandung makna bahwa DPD ini – walaupun kedudukan sama dengan DPR dalam steruktur ketatanegaraan – merupakan lembaga perwakilan yang bersifat komplementer yang mengakomodasi perwakilan daerah-daerah dalam tingkat nasional. Anggota DPD dipilih secara langsung oleh rakyat dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.
Undang-undang No.12 Tahun 2003, telah mengatur dengan jelas bahwa anggota DPD, berjumlah 4 orang dari setiap provinsi. Dengan jumlah 30 provinsi pada saat ini maka jumlah anggota DPD seluruhnya hanya 120 orang sehingga tidak mencapai sepertiga anggota DPD.
Penguatan Sisytem Presidensil dan Reduksi Kewenangan Presiden
Perubahan UUD ini juga, menunjukkan dua hal yang berlawannan dalam mengatur lembaga Presiden. Pertama, memperkuat posisi Presiden dalam Struktur ketatanegaraan Indonesia. Kedua; mereduksi beberapa kewenangan Presiden sebagaimana diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan.
a. Penguatan Sistem Presidensial
Penguatan system Presidensial terlihat pada mekanisme pemilihan Presiden dan proses pemberhentian Presiden. Jika pemilihan dan pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden sebelum perubahan UUD dilakukan oleh MPR, maka setelah perubahan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui pemilu. Karena dipilih langsung oleh rakyat, Presiden mendapat legitimasi langsung dari rakyat dan kedudukannya menjadi lebih kuat dihadapan lembaga negara yang lainnya, walaupun dihadapan MPR. Konsekwensinya, adalah adanya jaminan bahwa Presiden dan Wakil Presiden akan menduduki masa jabatannya dalam waktu tertentu (5 tahun) dan tidak mudah diberhentikan hanya karena dinggap melakukan kebijakan politik yang salah.
b. Mekanisme Pemberhentian Presiden Dipersulit
Berbeda dengan system presidensil yang dianut sebelum perubahan, menempatkan Presiden dibawah MPR. Karena MPR yang mengangkat, MPR juga yang dapat memberhentikan Presiden walaupun dengan alasan alasan politis karena Presiden membuat kebijakan yang melanggar haluan Negara.Jadi system ini sebenarnya hampir sama dengan system Parlementer yang menganut supremasi parlemen atas eksekutif. Meknaisme pemberhentian Presiden dalam system yang lalu cukup dengan usulan Sidang Istimewa dari DPR, setalah DPR menyampaikan Memorandum Pertama dan Kedua kepada Presiden. Atas dasar usulan DPR itu MPR melaksanakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggunganjawaban Presiden. Jika Presiden tidak datang memberikan pertanggungjawaban atau pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR, maka akibatnya Presiden bisa diberhentikan oleh MPR. Dalam proses ini tidak pembuktian perlu yuridis oleh institusi peradilan (Yudikatif) untuk memberikan penilaian secara hokum atas kesalahan Presiden itu.
Dalam system baru pasca perubahan UUD, Presiden tidak dapat diberhentikan hanya karena alasan-alasan politis. Presiden hanya dapat diberhentikan dalam hal Presiden atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum yang berupa, pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya serta perbuatan tercela dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden (pasal 7A). Demikian juga mekanisme pemberhentian Presiden harus menempuh mekanisme yang sulit dan panjang, yaitu melalui pengkajian dan penyelidikan yang dilakukan oleh DPR yang menhasilkan pendapat berupa keputusan DPR yang mengusulkan pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden kepada MPR. Sebelum Proses pengajuan ke MPR, DPR harus terlebih dahulu meminta putusan kepada Mahkamah Konstitusi apakah secara yuridis pendapat DPR ini dibenarkan atau tidak. Jika secara yuridis tidak berdasar, maka usulan pemberhentian itu tidak dapat dilanjutkan. Sebaliknya kalau secara yuridis benar, maka DPR melanjutkan usulan itu kepada MPR untuk memutuskannya. Atas pertimbangannya sendiri MPR dapat memberhentikan atau tidak memberhentikan Presiden berdasar jumlah dukungan suara anggota MPR. Logikanya jika usulan pemberhentian tersebut telah mendapat dukungan kuat dari anggota DPR, maka dapat dipastikan akan mendapat dukungan kuat dari MPR, karena lebih dari duapertiga anggota MPR adalah anggota DPR.
c. Reduksi dan Pembatasan Kewenangan Presiden
Untuk menjaga prinsip check and balances antar lembaga Negara, serta membatasi kewenangan Presiden yang telah diperkuat kedudukannya, kewenangan Presiden dikurangi dan dibatasi oleh UUD agar tidak disalahgunakan. Reduksi dan pembatasan kewenangan ini nampak pada, penghapusan kekuasan Presiden membentuk undang-undang (pasal 5), Pembatasan kekuasaan Presiden untuk mengangkat duta dan menerima duta Negara sahabat dengan mengahruskan adanya pertimbangan DPR (pasal 13), membatasi kewenangan Presiden menggunakan haknya untuk memberikan Grasi dan Rehabilitasi yang mengharuskan adanya pertimbangan Mahkamah Agung (pasal 14 ayat (1)), membatasi kewenangan Presiden dalam menggunakan haknya untuk memberikan Amnesti dan abolisi yang mengharuskan adanya pertimbangan DPR serta mengharuskan Presiden untuk meminta persetujuan DPR dalam menyatakan perang atau melakukan perjanjian internasional (pasal 11). Demikian pula dalam hal pembentukan dan pembubaran departemen pemerintah harus dengan persetujuan DPR (pasal 17 ayat (4)).
Memperkuat Kedudukan Kekuasaan Kehakiman (Yudikatif)
Perubahan UUD ini mengintrodusi lembaga Negara yang baru dibidang yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi yang kedudukannya berada disamping Mahkamah Agung.
a. Prinsip Konstitusionalisme
Kekuasaan kehakiman sebagai pilar negara hukum Indonesia mendapat jaminan yang lebih kuat dalam perubahan UUD ini. Hal ini nampak pada diberikannya kewenangan untuk melakukan hak uji (materil dan atau formil) atas undang-undang yang merupakan produk bersama DPR dengan Presiden. Undang-undang yang telah dikeluarkan oleh DPR dan Presiden dapat dinyatakan tidak belaku baik sebahagian maupun keseluruhannya oleh lembaga Yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi. Hak ini sebelum perubahan UUD, tidak diserahkan kepada kekuasaan yudikatif, yang akibatnya segala produk undang-undang tidak mungkin dilakukan pengujian oleh lembaga peradilan, sehingga tidak mungkin dapat dibatalkan kecuali dicabut sendiri oleh DPR bersama Presiden. Dengan perubahan ini mengantarkan negara ini kepada negara yang menganut prinsip konstitusinalisme. Artinya segala tindakan dan produk lembaga-lembaga dan istitusi Negara harus dapat diuji apakah sesuai atau tidak sesuai dengan konstitusi berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi.
b. Prinsip Akuntabilitas pada Peradilan
Dalam rangka menegakkan prinsip akuntabilitas lembaga peradilan, dalam perubahan UUD ini mengintrodusir lembaga Negara yang baru yaitu Komisisi Yudisial yang merupakan bagian dari pelakasanaan kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial adalah sebuah komisi yang dibentuk dengan undang-undang yang memiliki kewenangan untuk mengawasi dan menegakan harkat dan kehormatan hakim serta melakukan rekruitmen awal calon hakim agung yang akan diajukan kepada DPR untuk dipilih. Walaupun komisi ini merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman, akan tetapi merupakan sebuah lembaga pengawasan eksternal terhadap para hakim pengadilan. Komisi ini yang akan menilai kinerja para hakim, dapat menjukan usulan promosi, demosi atau sanksi kepada para hakim. Keanggotan komisi ini akan dipilih oleh DPR dan diangkat oleh Presiden. Pembentukan lembaga ini dirasakan pentingnya karena selama ini hakim tidak terjangkau oleh pengawasan yang bersifat eksternal.
Sentralisasi dan Unitarisme Menjadi Desentralisasi dan Pluralisme
Walaupun semboyan Negara Republik Indonesia adalah “Bhinneka Tunggal Ika”, akan tetapi praktek selama ini, terutama pada masa Orde Baru tidak menunjukkan arti semboyan itu. Hal ini nampak pada kebijakan pemerintah yang selalu menunjukan kebijakan yang unitarian yaitu penyeragaman untuk seluruh wilayah Indonesia dan kebijakan yang sangat sentralistis. Akibatnya, adalah terhapusnya masyarakat hukum adat berikut hak-hak adatnya di seluruh Indonesia serta penyeragaman system pemerintahan sampai pada tingkat yang paling bawah. Demikian juga dengan kebijakan-kebijakan menyangkut daerah yang sangat sentralistis. Daerah tidak berdaya dan hanya menjalankan kebijakan-kebijakan yang terpusat.
Perubahan UUD ini, menggeser model kebijakan yang unitarisme dan sentralistis menjadi kebijakan desentralistis dan lebih menghormati pluralisme. Hal ini nampak pada perubahan pasal 18 UUD 1945. Dalam perubahan ini dihormati dan diperhatikan adanya kekhususan dan keragaman dari berbagai daerah di Indonesia. Jaminan pengaturan yang adil atas hubungan keuangan, pemanfaatan sumber adaya alam dan sumber daya ekonomi lainnya antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah (pasal 18A ayat (2)), pengakuan atas satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa (pasal 18B ayat (1)) serta pengakuan atas masyarakat hukum ada t beserta hak-hak adatnya yang masih hidup (pasal 18B ayat (2)).
Prinsip desentralisasi yang dianut dalam UUD ini, nampak jelas pada pemberian asas otonomi dan asas tugas pembantuan kepada daerah untuk mengurus pemerintahannya sendiri. Pada saat yang sama, daerah juga diberikan kewenangan untuk menetapkan peraturan-peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan asas otonomi dan asas tugas pembantuan itu.
Jaminan Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum
Untuk menjamin tegaknya Hak Asasi Manusia (HAM), sebagai sebuah pilar Negara hukum, UUD mengatur mengenai HAM ini dalam satu bab tersendiri yaitu bab XA, dengan 10 pasal serta 24 ayat. Rumusan mengenai HAM dalam UUD ini sangat lengkap yang mencakup seluruh aspek HAM yang diakui secara universal.
Pembatasan atas pelaksanaan HAM hanya dapat ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis.
Mengakomodir Sistem Hankamrata
Perubahan ini ini juga mencakup penyempurnaan dalam pengaturan mengenai pertahanan dan keamanan negara dengan mengokomodir sistem pertahanan dan kemanan rakyat semesta yang selama ini dianut dalam sistem pertahanan dan keamanan kita sebagaimana tertuang dalam pasal 39 ayat 2. Ketentuan ini menegaskan bahwa uasaha pertahanan dan keamanan negara dilasanakan melalui sistem pertahanan keamanan rakyat semesta oleh Tenatara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung, dimana TNI sebagai alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara dan POLRI sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masayarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum.
Mempertegas Arah Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan Nasional
Perubahan ini juga menegaskan tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan nasional. Pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar bagi setiap warga negara. Dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa Pemerintah bertanggung jawab untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia.
Untuk menjamin percepatan bagi kemajuan pendidikan dan pencerdasan kehidupan bangsa, maka UUD menetapkan anggaran minimal yang harus disediakan untuk anggaran pendidikan yaitu 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Disamping itu, pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan perastuan bangsa untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan ummat manusia, memajukan kebudayaan nasional dengan menjamin kebebasan masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya., serta menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Mengakomodir Demokrasi Eknomi dan Pembangunan Berkelanjutan
Perubahan ini juga menyempurnakan arah pembangunan dan sistem ekonomi nasional yang semula hanya menekankan pada sistem perekonomian sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, menjadi sistem ekonomi yang diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (pasal 31 ayat 4)
Dengan perubahan ini, diakomodir enan asas penting dalam pembangunan ekonomi yaitu: demokrasi ekonomi, prinsip kebersamaan, prinsip efisiensi berkeadilan, prinsip berkelanjutan, prinsip berwawasan lingkungan, prinsip kemandirian serta prinsip menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Kesimpulan
Banyak sekali paradigma politik baru setelah perubahan UUD ini. Paling tidak ada delapan paradigma yang dapat dikemukakan dari perubahan UUD ini, yaitu :
a) Prinsip check and balances dalam hubungan antar lembaga Negara;
b) Penguatan system pemerintahan demokratis;
c) Mengukuhkan prinsip kedaulatan rakyat;
d) Menganut prinsip Negara konstitusionalisme
e) Penguatan prinsip negara hukum dan penghormatan atas Hak Asasi Manusia;
f) Pendekatan fungsional dan efisiensi dalam penataan lembaga-lembaga negara, seperti pembuabaran Dewan Pertimbangan Agung (DPA);
g) Jaminan atas pluralisme;
h) Desentralisasi pemerintahan;
i) Peranan negara dalam memajukan pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebuadayaan nasional; serta
j) Asas demokrasi ekonomi dan pembangunan berkelanjutan.
Sementara itu prinsip Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar Negara tetap dipertahankan di samping prinsip kemanusiaan, negara kesatuan, keadilan social serta permusyawaratan yang tertuang dalam pembuakaan tetap dipertahankan.
Perubahan paradigma UUD ini harus membawa perubahan pola pikir, perubahan kultur dari seluruh aparat negara serta perubahan berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak lagi sesuai dengan berbagai paradigma baru ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;