Rabu, 13 Juni 2012

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI


PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 1999
TENTANG
TELEKOMUNIKASI

UMUM
Sejak diundangkannya Undang-undang No.3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, pembangunan dan penyelenggaraan telekomunikasi telah menunjukkan peningkatan peran penting dan strategis dalam menunjang dan mendorong kegiatan perekonomian, memantapkan pertahanan dan keamanan, mencerdaskan kehidupan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka wawasan nusantara, dan memantapkan ketahanan nasional serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
Perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang berlangsung sangat cepat telah mendorong terjadinya perubahan mendasar, melahirkan lingkungan telekomunikasi yang baru, dan perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk hasil konvergensi dengan teknologi informasi dan penyiaran, sehingga dipandang perlu mengadakan penataan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional.
Penyesuaian dalam penyelenggaraan telekomunikasi di tingkat nasional sudah merupakan kebutuhan nyata, mengingat meningkatnya kemampuan sektor swasta dalam penyelenggaraan telekomunikasi, penguasaan teknologi telekomunikasi, dan keunggulan kompetitif dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat.
Perkembangan teknologi telekomunikasi di tingkat internasional yang diikuti dengan peningkatan penggunaannya sebagai salah satu komoditas perdagangan, yang memiliki nilai komersial tinggi, telah mendorong terjadinya berbagai kesepakatan multilateral.
Sebagai negara yang aktif dalam membina hubungan antarnegara atas dasar kepentingan nasional, keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kesepakatan multilateral menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus dihadapi den diikuti. Sejak penandatanganan General Agreement on Trade and Services (GATS) di Marrakesh, Maroko, pada tgl. 15 April 1994, yang telah diratifikasi dengan Undang-undang No.7 Tahun 1994, penyelenggaraan telekomunikasi nasional menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perdagangan global.
Sesuai dengan prinsip perdagangan global, yang menitikberatkan pada asas perdagangan bebas dan tidak diskriminatif, Indonesia harus menyiapkan diri untuk menyesuaikan penyelenggaraan telekomunikasi.
Dengan memperhatikan hal tsb di atas, maka peran Pemerintah dititikberatkan pada pembinaan yang meliputi penentuan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian dengan mengikutsertakan peran masyarakat.
Peningkatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan telekomunikasi tidak mengurangi prinsip dasar yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar besarnya bagi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, ha12 yang menyangkut pemanfaatan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang merupakan sumber daya alam yang terbatas dikuasai oleh negara.
Dengan tetap berpijak pada arah dan kebijakan pembangunan nasional serta dengan memperhatikan perkembangan yang berlangsung baik secara nasional maupun internasional, terutama di bidang teknologi telekomunikasi, norma hukum bagi pembinaan dan penyelenggaraan telekomunikasi yang diatur dalam Undang-undang No.3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi perlu diganti.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Penyelenggaraan telekomunikasi memperhatikan dengan sungguh2 asas pembangunan nasional dengan mengutamakan asas manfaat, asas adil dan merata, asas kepastian hukum dan asas kepercayaan pada diri sendiri  serta memperhatikan pula asas keamanan kemitraan, dan etika.
Asas manfaat berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi akan lebih berdaya guna dan berhasil guna baik sebagai infrastruktur pembangunan, sarana penyelenggaraan pemerintahan, sarana pendidikan, sarana perhubungan maupun sebagai komoditas ekonomi yang dapat lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin.
Asas adil dan merata adalah bahwa penyelenggaraan telekomunikasi memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada semua pihak yang memenuhi syarat dan hasil2nya dinikmati oleh masyarakat secara adil dan merata.
Asas kepastian hukum berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi harus didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum baik bagi para investor, penyelenggara telekomunikasi, maupun kepada pengguna telekomunikasi.
Asas kepercayaan pada diri sendiri, dilaksanakan dengan memanfaatkan secara maksimal potensi sumber daya nasional secara efisien serta penguasaan teknologi telekomunikasi, sehingga dapat meningkatkan kemandirian dan mengurangi ketergantungan sebagai suatu bangsa dalam menghadapi persaingan global.
Asas kemitraan mengandung makna bahwa penyelenggaraan telekomunikasi harus dapat mengembangkan iklim yang harmonis, timbal balik, dan sinergi dalam penyelenggaraan telekomunikasi.
Asas keamanan dimaksudkan agar penyelenggaraan telekomunikasi selalu memperhatikan faktor keamanan dalam perencanaan, pembangunan, dan pengoperasiannya.
Asas etika dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan telekomunikasi senantiasa dilandasi oleh semangat profesionalisme, kejujuran, kesusilaan, dan keterbukaan.

Pasal 3
Tujuan penyelenggaraan telekomunikasi dalam ketentuan ini dapat dicapai, antara lain, melalui reformasi telekomunikasi untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan telekomunikasi dalam rangka menghadapi globalisasi, mempersiapkan sektor telekomunikasi memasuki persaingan usaha yang sehat dan profesional dengan regulasi yang transparan, serta membuka lebih banyak kesempatan berusaha bagi pengusaha kecil dan menengah.

Pasal 4
Ayat (1)
Mengingat telekomunikasi merupakan salah satu cabang produksi yang penting dan strategis dalam kehidupan nasional, maka penguasaannya dilakukan oleh negara, yang dalam penyelenggaraannya ditujukan untuk sebesar besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat.
Ayat (2)
Fungsi penetapan kebijakan, antara lain, perumusan mengenai perencanaan dasar strategis dan perencanaan dasar teknis telekomunikasi nasional.
Fungsi pengaturan mencakup kegiatan yang bersifat umum dan atau teknis operasional yang antara lain, tercermin dalam pengaturan perizinan dan persyaratan dalam penyelenggaraan telekomunikasi.
Fungsi pengendalian dilakukan berupa pengarahan dan bimbingan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi.
Fungsi pengawasan adalah pengawasan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk pengawasan terhadap penguasaan, pengusahaan, pemasukan, perakitan, penggunaan frekuensi dan orbit satelit, serta alat, perangkat, sarana dan prasarana telekomunikasi.
Fungsi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian dilaksanakan oleh Menteri. Sesuai dengan perkembangan keadaan, fungsi pengaturan, pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilimpahkan kepada suatu badan regulasi.
Dalam rangka efektivitas pembinaan, pemerintah melakukan koordinasi dengan instansi terkait, penyelenggara telekomunikasi  dan mengikutsertakan peran masyarakat.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 5
Ayat (1) s/d Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 6
Sesuai dengan ketentuan Konvensi Telekomunikasi Internasional, yang dimaksud dengan Administrasi Telekomunikasi adalah Negara yang diwakili oleh pemerintah negara ybs. Dalam hal ini. Administrasi Telekomunikasi melaksanakan hak dan kewajiban Konvensi Telekomunikasi Internasional dan peraturan yang menyertainya.
Administrasi Telekomunikasi Indonesia juga melaksanakan hak dan kewajiban peraturan internasional lainnya seperti peraturan yang ditetapkan Intelsat (International Telecommunication Satellite Organization)  dan Inmarsat (International Maritime Satellite Organization) serta perjanjian internasional di bidang telekomunikasi lainnya yang diratifikasi Indonesia.

Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a dan b
Cukup jelas.
Huruf c
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus antara lain untuk keperluan meteorologi dan geofisika, televisi siaran, radio siaran, navigasi, penerbangan, pencarian dan pertolongan kecelakaan, amatir radio, komunikasi radio antar penduduk dan penyelenggaraan telekomunikasi khusus instansi pemerintah tertentu/swasta.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 8
Ayat (1) s/d (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang memerlukan jaringan telekomunikasi dapat menggunakan jaringan yang dimilikinya dan atau menyewa dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lain.
Jaringan telekomunikasi yang disewa pada dasarnya digunakan untuk keperluan sendiri, namun apabila disewakan kembali kepada pihak lain, maka yang menyewakan kembali tsb harus memperoleh izin sebagai penyelenggara jaringan telekomunikasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan perseorangan adalah penyelenggaraan telekomunikasi guna memenuhi kebutuhan perseorangan, misalnya amatir radio dan komunikasi radio antar penduduk.
Huruf b
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan instansi pemerintah adalah penyelenggaraan telekomunikasi untuk mendukung pelaksanaan tugas2 umum instansi tsb misalnya, komunikasi departemen atau komunikasi pemerintah daerah.
Huruf c
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk dinas khusus adalah penyelenggaraan telekomunikasi untuk mendukung kegiatan dinas ybs. antara lain, kegiatan navigasi, penerbangan, atau meteorologi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk badan hukum adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), badan usaha swasta, atau koperasi, misalnya telekomunikasi perbankan, telekomunikasi pertambangan, atau telekomunikasi perkeretaapian.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 10
Ayat (1)
Pasal ini dimaksudkan agar terjadi kompetisi yang sehat antar penyelenggara telekomunikasi dalam melakukan kegiatannya.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku dimaksud adalah Undang-undang no. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta peraturan pelaksanaannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 11
Ayat (1)
Perizinan penyelenggaraan telekomunikasi dimaksudkan sebagai upaya Pemerintah dalam rangka pembinaan untuk mendorong pertumbuhan penyelenggaraan telekomunikasi yang sehat.
Pemerintah berkewajiban untuk mempublikasikan secara berkala atas daerah/wilayah yang terbuka untuk penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi.
Penyelenggaraan telekomunikasi wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam perizinan.
Penyelenggaraan telekomunikasi guna keperluan eksperimen diberi izin khusus untuk jangka waktu tertentu.
Ayat (2) dan (3)
Cukup jelas.

Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki dikuasai oleh Pemerintah adalah kemudahan yang diberikan kepada penyelenggara telekomunikasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan instansi pemerintah adalah instansi yang secara langsung menguasai  memiliki, dan atau menggunakan tanah dan atau bangunan.

Pasal 13
Yang dimaksud dengan perseorangan adalah orang seorang dan atau badan hukum yang secara langsung menguasai, memiliki dan atau menggunakan tanah dan atau bangunan yang dimanfaatkan atau dilintasi.
Dalam rangka memberi perlindungan hukum terhadap hak milik perseorangan, maka pemanfaatannya harus mendapat persetujuan para pihak.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Ayat (1)
Ganti rugi oleh penyelenggara telekomunikasi diberikan kepada pengguna atau masyarakat luas yang dirugikan karena kelalaian atau kesalahan penyelenggara telekomunikasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyelesaian ganti rugi dilaksanakan dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Cara2 tsb dimaksudkan sebagai upaya bagi para pihak untuk mendapatkan penyelesaian dengan cara cepat. Apabila penyelesaian ganti rugi melalui cara tsb di atas tidak berhasil, maka dapat diselesaikan melalui pengadilan.

Pasal 16
Ayat (1)
Kewajiban pelayanan universal (universal service obligation) merupakan kewajiban penyediaan jaringan telekomunikasi  oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi agar kebutuhan masyarakat terutama di daerah terpencil dan atau belum berkembang untuk mendapatkan akses telepon dapat dipenuhi.
Dalam penetapan kewajiban pelayanan universal, pemerintah memperhatikan prinsip ketersediaan pelayanan jasa telekomunikasi yang menjangkau daerah berpenduduk dengan mutu yang baik dan tarif yang layak.
Kewajiban pelayanan universal terutama untuk wilayah yang secara geografis terpencil dan yang secara ekonomi belum berkembang serta membutuhkan biaya pembangunan tinggi termasuk di daerah perintisan, pedalaman, pinggiran, terpencil dan atau daerah yang secara ekonomi kurang menguntungkan.
Kewajiban membangun fasilitas telekomunikasi untuk pelayanan universal dibebankan kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi tetap yang telah mendapatkan izin dari pemerintah berupa jasa Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) dan atau jasa sambungan lokal. Penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya di luar kedua jenis jasa di atas diwajibkan memberikan kontribusi.
Ayat (2)
Kompensasi lain sebagaimana dimaksud dalam kewajiban pelayanan universal adalah kontribusi biaya untuk pembangunan yang dibebankan melalui biaya interkoneksi.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Ayat (1)
Pencatatan pemakaian jasa telekomunikasi merupakan kewajiban penyelenggara yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dan berlaku hanya untuk pelayanan jasa telepon Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) dan Sambungan Langsung Internasional (SLI) sepanjang diminta oleh pengguna jasa telekomunikasi.
Perekaman pemakaian jasa telekomunikasi adalah rekaman rincian data tagihan (billing), yang digunakan untuk membuktikan pemakaian jasa telekomunikasi.
Ayat (2) dan (3)
Cukup jelas.

Pasal 19
Bila jaringan telekomunikasi terhubung dengan beberapa jaringan lain yang menyelenggarakan jasa yang sama, maka pengguna jaringan tsb harus dijamin kebebasannya untuk memilih salah satu dari jaringan yang terhubung tadi melalui penomoran yang ditentukan.
Pada dasarnya pengguna berhak memilih penyelenggara jaringan dan atau jasa telekomunikasi untuk menyalurkan hubungan telekomunikasinya. Dalam pelaksanaannya penyelenggara jaringan dan atau jasa telekomunikasi dapat mengubah rute hubungan dari pengguna ke jaringan penyelenggara lain tanpa sepengetahuan pengguna.
Apabila terjadi, hal di atas bertentangan dengan prinsip persaingan sehat yang dapat merugikan baik bagi penyelenggara maupun bagi pengguna.

Pasal 20
Pengiriman informasi adalah tahap awal dari proses bertelekomunikasi, yang dilanjutkan dengan kegiatan penyaluran sebagai proses antara dan diakhiri dengan kegiatan penyampaian informasi untuk penerimaan pihak yang dituju. Prioritas pengiriman, penyaluran dan penyampaian informasi yang akan ditetapkan oleh pemerintah antara lain berita tentang musibah.

Pasal 21
Penghentian kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilakukan oleh pemerintah setelah diperoleh informasi yang patut diduga dengan kuat dan diyakini bahwa penyelenggaraan telekomunikasi tsb melanggar kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar kebutuhan atas penomoran dari penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa telekomunikasi serta penggunanya dapat dipenuhi secara adil dan selaras dengan ketentuan internasional.
Nomor adalah rangkaian tanda dalam bentuk angka terdiri atas kode akses dan nomor pelanggan yang dipergunakan untuk mengidentifikasi suatu alamat pada jaringan atau pelayanan telekomunikasi.
Ayat (2)
Penomoran adalah sumber daya terbatas dan oleh karena itu sistem penomoran diatur oleh Menteri secara adil. Penomoran pada jaringan telekomunikasi terkait dengan teknologi dan ketentuan internasional.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Ayat (1) s/d (4)
Cukup jelas.

Pasal 26
Ayat (1)
Biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi adalah kewajiban yang dikenakan kepada penyelenggara jaringan dan atau jasa telekomunikasi sebagai kompensasi atas perizinan yang diperolehnya dalam penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi, yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari pendapatan dan merupakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang disetor ke Kas Negara.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 27
Susunan tarif jaringan dan atau jasa telekomunikasi meliputi struktur dan jenis tarif ditetapkan oleh pemerintah. Berdasarkan struktur dan jenis tsb, penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dapat menetapkan besaran tarif.
Struktur tarif terdiri atas biaya pasang baru (aktivasi, biaya berlangganan bulanan, biaya penggunaan, dan biaya jasa tambahan (feature).
Jenis tarif terdiri atas tarif pulsa lokal, tarif pulsa Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ), tarif Sambungan Langsung Internasional (SLI) dan air time untuk jasa sambungan telepon bergerak.

Pasal 28
Formula sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pola perhitungan untuk menetapkan tarif.
Formula tarif terdiri atas formula awal dan formula tarif perubahan.
Dalam menetapkan formula tarif awal, yang harus diperhatikan adalah komponen biaya, sedangkan untuk menetapkan formula besaran tarif perubahan diperhatikan juga antara lain faktor inflasi, kemampuan masyarakat, dan kesinambungan pembangunan telekomunikasi.

Pasal 29
Ayat (1)
Larangan bagi penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi ruang lingkup penyelenggaraan telekomunikasi khusus yang memang hanya untuk keperluan sendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 30
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah kebutuhan jasa telekomunikasi di suatu daerah yang karena keadaan tertentu belum dapat dijangkau oleh jasa telekomunikasi. Oleh karena itu Undang-undang ini memandang perlu untuk memberikan kemungkinan kepada penyelenggara telekomunikasi khusus yang sebenarnya hanya bergerak untuk kepentingan sendiri, dapat memberikan pelayanan jasa telekomunikasi kepada masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tersebut.
Ayat (2)
Penyelenggara telekomunikasi khusus yang menyelenggarakan jaringan dan atau jasa telekomunikasi dapat melanjutkan penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi dengan pertimbangan investasi yang telah dilakukannya dan kesinambungan pelayanan kepada pengguna.
Dalam hal ini penyelenggara telekomunikasi khusus yang bersangkutan wajib memenuhi seluruh ketentuan yang berlaku bagi penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 31
Ayat (1)
Untuk keperluan pertahanan keamanan negara, fasilitas telekomunikasi yang dimiliki oleh penyelenggara telekomunikasi lainnya dapat dimanfaatkan.
Penggunaan atau pemanfaatan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dilakukan sepanjang jaringan telekomunikasi untuk keperluan pertahanan keamanan negara, yang dalam hal ini oleh Tentara Nasional Indonesia, tidak dapat berfungsi atau tidak tersedia.
Dalam hal negara dalam keadaan bahaya ketentuan ayat ini tidak berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 32
Ayat (1)
Persyaratan teknis alat perangkat telekomunikasi merupakan syarat yang diwajibkan terhadap alat/perangkat telekomunikasi agar pada waktu dioperasikan tidak saling mengganggu alat/perangkat telekomunikasi lain dan atau jaringan telekomunikasi atau alat perangkat selain perangkat telekomunikasi.
Persyaratan teknis dimaksud lebih ditujukan terhadap fungsi alat/perangkat telekomunikasi yang berupa parameter elektris/elektronis serta dengan memperhatikan pula aspek di luar parameter elektris/elektronis sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan aspek lainnya, misalnya lingkungan, keselamatan, dan kesehatan.
Untuk menjamin pemenuhan persyaratan teknis alat/perangkat telekomunikasi, setiap alat atau perangkat telekomunikasi dimaksud harus diuji oleh balai uji yang diakui oleh pemerintah atau institusi yang berwenang.
Ketentuan persyaratan teknis memperhatikan standar teknis yang berlaku secara internasional, mempertimbangkan kepentingan masyarakat, dan harus berdasarkan pada teknologi yang terbuka.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 33
Ayat (1)
Pemberian izin penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit didasarkan kepada ketersediaan spektrum frekuensi radio yang telah dialokasikan untuk keperluan penyelenggaraan telekomunikasi termasuk siaran sesuai peruntukannya.
Tabel alokasi frekuensi radio disebarluaskan dan dapat diketahui oleh masyarakat secara transparan.
Apabila ketersediaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit tidak memenuhi permintaan atau kebutuhan penyelenggaraan telekomunikasi maka perolehan izinnya antara lain dimungkinkan melalui mekanisme pelelangan.
Ayat (2)
Frekuensi radio adalah jumlah getaran telekomunikasi untuk 1 (satu) periode, sedangkan spektrum frekuensi radio adalah kumpulan frekuensi radio.
Penggunaan frekuensi radio didasarkan pada ruang, jumlah getaran, dan lebar pita, yang hanya dapat digunakan oleh 1 (satu) pihak. Penggunaan secara bersamaan pada ruang, jumlah getaran dan lebar yang sama atau berhimpitan akan saling mengganggu.
Frekuensi dalam telekomunikasi digunakan untuk membawa atau menyalurkan informasi. Dengan demikian agar informasi dapat dibawa atau disalurkan dengan baik tanpa gangguan maka penggunaan frekuensinya harus diatur. Pengaturan frekuensi antara lain mengenai pengalokasian pita frekuensi dan peruntukannya.
Orbit satelit adalah suatu lintasan ini angkasa yang dilalui oleh suatu pusat masa satelit. Orbit satelit terdiri atas orbit satelit geostasioner, orbit satelit rendah dan orbit satelit menengah.
Orbit satelit geostasioner adalah suatu lintasan yang dilalui oleh suatu pusat masa satelit yang disebabkan oleh gaya gravitasi bumi yang mempunyai kedudukan tetap terhadap bumi. Orbit satelit geostasioner berada di atas khatulistiwa dengan ketinggian 36.000 km.
Orbit satelit rendah dan menengah adalah suatu lintasan yang dilalui oleh suatu pusat masa satelit yang kedudukannya tidak tetap terhadap bumi. Ketinggian orbit satelit rendah sekitar 1 .500 km dan orbit satelit menengah sekitar 11.000 km.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 34
Ayat (1)
Biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio merupakan kompensasi atas penggunaan frekuensi sesuai dengan izin yang diterima. Di samping itu, biaya penggunaan frekuensi dimaksudkan juga sebagai sarana pengawasan dan pengendalian agar frekuensi radio sebagai sumber daya alam terbatas dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Besarnya biaya penggunaan frekuensi ditentukan berdasarkan jenis dan lebar pita frekuensi. Jenis frekuensi akan berpengaruh pada mutu penyelenggaraan, sedangkan lebar pita frekuensi akan berpengaruh pada kapasitas/jumlah informasi yang dapat dibawa/dikirim.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan wilayah perairan Indonesia adalah wilayah laut teritorial termasuk perairan dalam. Dengan demikian, pengertian ini menjangkau konsepsi negara kepulauan sebagaimana diakui dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Internasional yang selanjutnya telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985.
Karena kapal berbendera asing tersebut telah dilengkapi dengan perangkat telekomunikasi yang pemasangan dan pengoperasiannya mengikuti ketentuan yang berlaku di negaranya, maka ketentuan tentang persyaratan teknis yang ditetapkan Menteri tidak dapat diterapkan kepadanya.
Penggunaan perangkat telekomunikasi tersebut di wilayah perairan Indonesia tetap harus mengikuti ketentuan internasional yang berlaku, yakni prinsip tidak saling mengganggu dan sesuai dengan peruntukannya.
Ayat (2)
Larangan menggunakan spektrum frekuensi radio atau orbit satelit di wilayah perairan Indonesia dimaksudkan untuk melindungi keamanan negara dan untuk mencegah dirugikannya penyelenggaraan telekomunikasi.
Dinas bergerak pelayaran (maritime mobile service) adalah telekomunikasi antara stasiun pantai dan stasiun kapal, antar stasiun kapal, antar stasiun komunikasi pelengkap di kapal, stasiun kendaraan penyelamat, atau stasiun rambu radio penunjuk posisi darurat.
Ketentuan ini hanya berlaku untuk kapal sipil dan tidak berlaku bagi kapal milik Tentara Nasional Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 36
Ayat (1)
Ketentuan teknis tentang perangkat telekomunikasi yang ditetapkan Pemerintah tidak dapat diterapkan kepada pesawat udara asing karena pesawat udara asing tersebut mengikuti ketentuan yang berlaku di negaranya.
Penggunaan perangkat telekomunikasi tersebut tetap harus mengikuti ketentuan internasional yang berlaku, yakni prinsip tidak saling mengganggu dan sesuai dengan peruntukannya.
Ayat (2)
Larangan menggunakan spektrum frekuensi radio atau orbit satelit di wilayah udara Indonesia dimaksudkan untuk melindungi keamanan negara dan untuk mencegah dirugikannya penyelenggaraan telekomunikasi.
Dinas bergerak penerbangan (aeronautical mobile service) adalah telekomunikasi antara stasiun penerbangan dan stasiun pesawat udara, antar stasiun pesawat udara yang juga dapat mencakup stasiun kendaraan penyelamat, dan stasiun rambu radio penunjuk posisi darurat.
Dinas tersebut beroperasi pada frekuensi yang ditentukan untuk marabahaya dan keadaan darurat.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 37
Asas timbal balik yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah asas dalam hubungan internasional untuk memberikan perlakuan yang lama kepada perwakilan diplomatik asing di Indonesia sebagaimana perilaku yang diberikan kepada perwakilan Indonesia di negara yang bersangkutan.

Pasal 38
Perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi dapat berupa :
a.         tindakan fisik yang menimbulkan kerusakan suatu jaringan telekomunikasi sehingga jaringan tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya;
b.         tindakan fisik yang mengakibatkan hubungan telekomunikasi tidak berjalan sebagaimana mestinya;
c.         penggunaan alat telekomunikasi yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku;
d.         penggunaan alat telekomunikasi yang bekerja dengan gelombang radio yang tidak sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan gangguan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi lainnya; atau
e.         penggunaan alat bukan telekomunikasi yang tidak sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan pengaruh teknis yang tidak dikehendaki suatu penyelenggaraan telekomunikasi.

Pasal 39
Ayat (1)
Kegiatan pengamanan telekomunikasi dilaksanakan oleh penyelenggara telekomunikasi yang dimulai sejak perencanaan pembangunan sampai dengan akhir masa pengoperasian.
Lingkup perencanaan pembangunan termasuk antara lain rancang bangun dan rekayasa, yang harus memperhitungkan perlindungan dan pengamanan terhadap gangguan elektromagnetis, alam, dan lingkungan.
Dalam kegiatan pengamanan dan perlindungan instalasi penyelenggara mengikutsertakan masyarakat dan berkoordinasi dengan pihak yang berwenang.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 40
Yang dimaksud dengan penyadapan dalam pasal ini adalah kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah. Pada dasarnya informasi yang dimiliki oleh seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang.

Pasal 41
Rekaman informasi antara lain rekaman percakapan antar pihak yang bertelekomunikasi.

Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan proses peradilan pidana dalam ketentuan ini mencakup penyidikan, penuntutan dan penyidangan.
Huruf a
Yang dimaksud dengan tindak pidana tertentu adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun ke atas, seumur hidup atau mati.
Huruf b
Contoh tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku ialah tindak pidana yang sesuai dengan Undang-undang tentang Narkotika dan tindak pidana yang sesuai dengan Undang-undang tentang Psikotropika.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Ayat (1) s/d Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 45
Pengenaan sanksi administrasi dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai upaya pemerintah dalam rangka pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi.

Pasal 46
Ayat (1) dan Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 50
Cukup jelas.

Pasal 51
Cukup jelas.

Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
Cukup jelas.

Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58
Cukup jelas.

Pasal 59
Cukup jelas.

Pasal 60
Cukup jelas.

Pasal 61
Ayat (1)
Badan Penyelenggara adalah Badan Penyelenggara sesuai dengan yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan hal tertentu adalah hak eksklusivitas untuk menyelenggarakan jasa telekomunikasi tetap sambungan lokal. Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ), dan Sambungan Langsung internasional (SLI) yang diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Penyelenggara.
Sejalan dengan Undang-undang ini yang akan mengakhiri monopoli di bidang telekomunikasi, Pemerintah dapat mempersingkat jangka waktu hak tertentu tersebut.
Untuk mempercepat berakhirnya jangka waktu hak tertentu dilakukan melalui cara dan persyaratan yang disepakati bersama, dengan memperhatikan prinsip kejujuran dan keadilan serta keterbukaan (fairness), misalnya dengan pemberian kompensasi.

Pasal 62
Cukup jelas.

Pasal 63
Cukup jelas.

Pasal 64
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3881

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;