PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 1999
TENTANG
TELEKOMUNIKASI
UMUM
Sejak diundangkannya Undang-undang No.3 Tahun 1989 tentang
Telekomunikasi, pembangunan dan penyelenggaraan telekomunikasi telah
menunjukkan peningkatan peran penting dan strategis dalam menunjang dan
mendorong kegiatan perekonomian, memantapkan pertahanan dan keamanan,
mencerdaskan kehidupan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, memperkukuh
persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka wawasan nusantara, dan memantapkan
ketahanan nasional serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
Perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi
telekomunikasi yang berlangsung sangat cepat telah mendorong terjadinya
perubahan mendasar, melahirkan lingkungan telekomunikasi yang baru, dan
perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk hasil
konvergensi dengan teknologi informasi dan penyiaran, sehingga dipandang perlu
mengadakan penataan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional.
Penyesuaian dalam penyelenggaraan telekomunikasi di tingkat
nasional sudah merupakan kebutuhan nyata, mengingat meningkatnya kemampuan
sektor swasta dalam penyelenggaraan telekomunikasi, penguasaan teknologi
telekomunikasi, dan keunggulan kompetitif dalam rangka memenuhi kebutuhan
masyarakat.
Perkembangan teknologi telekomunikasi di tingkat
internasional yang diikuti dengan peningkatan penggunaannya sebagai salah satu
komoditas perdagangan, yang memiliki nilai komersial tinggi, telah mendorong
terjadinya berbagai kesepakatan multilateral.
Sebagai negara yang aktif dalam membina hubungan antarnegara
atas dasar kepentingan nasional, keikutsertaan Indonesia dalam berbagai
kesepakatan multilateral menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus dihadapi
den diikuti. Sejak penandatanganan General Agreement on Trade and Services
(GATS) di Marrakesh, Maroko, pada tgl. 15 April 1994, yang telah diratifikasi
dengan Undang-undang No.7 Tahun 1994, penyelenggaraan telekomunikasi nasional
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perdagangan global.
Sesuai dengan prinsip perdagangan global, yang
menitikberatkan pada asas perdagangan bebas dan tidak diskriminatif, Indonesia
harus menyiapkan diri untuk menyesuaikan penyelenggaraan telekomunikasi.
Dengan memperhatikan hal tsb di atas, maka peran Pemerintah
dititikberatkan pada pembinaan yang meliputi penentuan kebijakan, pengaturan,
pengawasan, dan pengendalian dengan mengikutsertakan peran masyarakat.
Peningkatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan
telekomunikasi tidak mengurangi prinsip dasar yang terkandung dalam Pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar
besarnya bagi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, ha12 yang menyangkut
pemanfaatan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang merupakan sumber
daya alam yang terbatas dikuasai oleh negara.
Dengan tetap berpijak pada arah dan kebijakan pembangunan
nasional serta dengan memperhatikan perkembangan yang berlangsung baik secara
nasional maupun internasional, terutama di bidang teknologi telekomunikasi,
norma hukum bagi pembinaan dan penyelenggaraan telekomunikasi yang diatur dalam
Undang-undang No.3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi perlu diganti.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Penyelenggaraan telekomunikasi memperhatikan dengan sungguh2
asas pembangunan nasional dengan mengutamakan asas manfaat, asas adil dan
merata, asas kepastian hukum dan asas kepercayaan pada diri sendiri serta memperhatikan pula asas keamanan
kemitraan, dan etika.
Asas manfaat berarti bahwa pembangunan telekomunikasi
khususnya penyelenggaraan telekomunikasi akan lebih berdaya guna dan berhasil
guna baik sebagai infrastruktur pembangunan, sarana penyelenggaraan
pemerintahan, sarana pendidikan, sarana perhubungan maupun sebagai komoditas
ekonomi yang dapat lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin.
Asas adil dan merata adalah bahwa penyelenggaraan
telekomunikasi memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada semua pihak
yang memenuhi syarat dan hasil2nya dinikmati oleh masyarakat secara adil dan
merata.
Asas kepastian hukum berarti bahwa pembangunan
telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi harus didasarkan kepada
peraturan perundang-undangan yang menjamin kepastian hukum dan memberikan
perlindungan hukum baik bagi para investor, penyelenggara telekomunikasi,
maupun kepada pengguna telekomunikasi.
Asas kepercayaan pada diri sendiri, dilaksanakan dengan
memanfaatkan secara maksimal potensi sumber daya nasional secara efisien serta
penguasaan teknologi telekomunikasi, sehingga dapat meningkatkan kemandirian
dan mengurangi ketergantungan sebagai suatu bangsa dalam menghadapi persaingan
global.
Asas kemitraan mengandung makna bahwa penyelenggaraan telekomunikasi
harus dapat mengembangkan iklim yang harmonis, timbal balik, dan sinergi dalam
penyelenggaraan telekomunikasi.
Asas keamanan dimaksudkan agar penyelenggaraan
telekomunikasi selalu memperhatikan faktor keamanan dalam perencanaan,
pembangunan, dan pengoperasiannya.
Asas etika dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan
telekomunikasi senantiasa dilandasi oleh semangat profesionalisme, kejujuran,
kesusilaan, dan keterbukaan.
Pasal 3
Tujuan penyelenggaraan telekomunikasi dalam ketentuan ini
dapat dicapai, antara lain, melalui reformasi telekomunikasi untuk meningkatkan
kinerja penyelenggaraan telekomunikasi dalam rangka menghadapi globalisasi,
mempersiapkan sektor telekomunikasi memasuki persaingan usaha yang sehat dan
profesional dengan regulasi yang transparan, serta membuka lebih banyak
kesempatan berusaha bagi pengusaha kecil dan menengah.
Pasal 4
Ayat (1)
Mengingat telekomunikasi merupakan
salah satu cabang produksi yang penting dan strategis dalam kehidupan nasional,
maka penguasaannya dilakukan oleh negara, yang dalam penyelenggaraannya
ditujukan untuk sebesar besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat.
Ayat (2)
Fungsi penetapan kebijakan, antara
lain, perumusan mengenai perencanaan dasar strategis dan perencanaan dasar
teknis telekomunikasi nasional.
Fungsi pengaturan mencakup
kegiatan yang bersifat umum dan atau teknis operasional yang antara lain,
tercermin dalam pengaturan perizinan dan persyaratan dalam penyelenggaraan
telekomunikasi.
Fungsi pengendalian dilakukan
berupa pengarahan dan bimbingan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi.
Fungsi pengawasan adalah
pengawasan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk pengawasan
terhadap penguasaan, pengusahaan, pemasukan, perakitan, penggunaan frekuensi
dan orbit satelit, serta alat, perangkat, sarana dan prasarana telekomunikasi.
Fungsi penetapan kebijakan,
pengaturan, pengawasan dan pengendalian dilaksanakan oleh Menteri. Sesuai
dengan perkembangan keadaan, fungsi pengaturan, pengawasan dan pengendalian
penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilimpahkan kepada suatu badan regulasi.
Dalam rangka efektivitas
pembinaan, pemerintah melakukan koordinasi dengan instansi terkait,
penyelenggara telekomunikasi dan
mengikutsertakan peran masyarakat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1) s/d Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 6
Sesuai dengan ketentuan Konvensi Telekomunikasi
Internasional, yang dimaksud dengan Administrasi Telekomunikasi adalah Negara
yang diwakili oleh pemerintah negara ybs. Dalam hal ini. Administrasi
Telekomunikasi melaksanakan hak dan kewajiban Konvensi Telekomunikasi
Internasional dan peraturan yang menyertainya.
Administrasi Telekomunikasi Indonesia juga melaksanakan hak
dan kewajiban peraturan internasional lainnya seperti peraturan yang ditetapkan
Intelsat (International Telecommunication Satellite Organization) dan Inmarsat (International Maritime
Satellite Organization) serta perjanjian internasional di bidang telekomunikasi
lainnya yang diratifikasi Indonesia.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a dan b
Cukup jelas.
Huruf c
Penyelenggaraan telekomunikasi
khusus antara lain untuk keperluan meteorologi dan geofisika, televisi siaran,
radio siaran, navigasi, penerbangan, pencarian dan pertolongan kecelakaan,
amatir radio, komunikasi radio antar penduduk dan penyelenggaraan
telekomunikasi khusus instansi pemerintah tertentu/swasta.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1) s/d (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyelenggara jasa telekomunikasi
yang memerlukan jaringan telekomunikasi dapat menggunakan jaringan yang
dimilikinya dan atau menyewa dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lain.
Jaringan telekomunikasi yang
disewa pada dasarnya digunakan untuk keperluan sendiri, namun apabila disewakan
kembali kepada pihak lain, maka yang menyewakan kembali tsb harus memperoleh izin
sebagai penyelenggara jaringan telekomunikasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan
penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan perseorangan adalah
penyelenggaraan telekomunikasi guna memenuhi kebutuhan perseorangan, misalnya
amatir radio dan komunikasi radio antar penduduk.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan instansi pemerintah
adalah penyelenggaraan telekomunikasi untuk mendukung pelaksanaan tugas2 umum
instansi tsb misalnya, komunikasi departemen atau komunikasi pemerintah daerah.
Huruf c
Yang dimaksud dengan
penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk dinas khusus adalah penyelenggaraan
telekomunikasi untuk mendukung kegiatan dinas ybs. antara lain, kegiatan
navigasi, penerbangan, atau meteorologi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan
penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk badan hukum adalah penyelenggaraan
telekomunikasi yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD), badan usaha swasta, atau koperasi, misalnya telekomunikasi
perbankan, telekomunikasi pertambangan, atau telekomunikasi perkeretaapian.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Pasal ini dimaksudkan agar terjadi
kompetisi yang sehat antar penyelenggara telekomunikasi dalam melakukan
kegiatannya.
Peraturan perundang-undangan yang
berlaku dimaksud adalah Undang-undang no. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta peraturan pelaksanaannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Perizinan penyelenggaraan
telekomunikasi dimaksudkan sebagai upaya Pemerintah dalam rangka pembinaan
untuk mendorong pertumbuhan penyelenggaraan telekomunikasi yang sehat.
Pemerintah berkewajiban untuk
mempublikasikan secara berkala atas daerah/wilayah yang terbuka untuk
penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi.
Penyelenggaraan telekomunikasi
wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam perizinan.
Penyelenggaraan telekomunikasi
guna keperluan eksperimen diberi izin khusus untuk jangka waktu tertentu.
Ayat (2) dan (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan memanfaatkan
atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki dikuasai oleh
Pemerintah adalah kemudahan yang diberikan kepada penyelenggara telekomunikasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan instansi
pemerintah adalah instansi yang secara langsung menguasai memiliki, dan atau menggunakan tanah dan atau
bangunan.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan perseorangan adalah orang seorang dan
atau badan hukum yang secara langsung menguasai, memiliki dan atau menggunakan
tanah dan atau bangunan yang dimanfaatkan atau dilintasi.
Dalam rangka memberi perlindungan hukum terhadap hak milik
perseorangan, maka pemanfaatannya harus mendapat persetujuan para pihak.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Ganti rugi oleh penyelenggara
telekomunikasi diberikan kepada pengguna atau masyarakat luas yang dirugikan
karena kelalaian atau kesalahan penyelenggara telekomunikasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyelesaian ganti rugi
dilaksanakan dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Cara2
tsb dimaksudkan sebagai upaya bagi para pihak untuk mendapatkan penyelesaian
dengan cara cepat. Apabila penyelesaian ganti rugi melalui cara tsb di atas
tidak berhasil, maka dapat diselesaikan melalui pengadilan.
Pasal 16
Ayat (1)
Kewajiban pelayanan universal
(universal service obligation) merupakan kewajiban penyediaan jaringan telekomunikasi oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi
agar kebutuhan masyarakat terutama di daerah terpencil dan atau belum
berkembang untuk mendapatkan akses telepon dapat dipenuhi.
Dalam penetapan kewajiban
pelayanan universal, pemerintah memperhatikan prinsip ketersediaan pelayanan
jasa telekomunikasi yang menjangkau daerah berpenduduk dengan mutu yang baik
dan tarif yang layak.
Kewajiban pelayanan universal
terutama untuk wilayah yang secara geografis terpencil dan yang secara ekonomi
belum berkembang serta membutuhkan biaya pembangunan tinggi termasuk di daerah
perintisan, pedalaman, pinggiran, terpencil dan atau daerah yang secara ekonomi
kurang menguntungkan.
Kewajiban membangun fasilitas
telekomunikasi untuk pelayanan universal dibebankan kepada penyelenggara
jaringan telekomunikasi tetap yang telah mendapatkan izin dari pemerintah berupa
jasa Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) dan atau jasa sambungan lokal.
Penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya di luar kedua jenis jasa di atas
diwajibkan memberikan kontribusi.
Ayat (2)
Kompensasi lain sebagaimana
dimaksud dalam kewajiban pelayanan universal adalah kontribusi biaya untuk
pembangunan yang dibebankan melalui biaya interkoneksi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Pencatatan pemakaian jasa
telekomunikasi merupakan kewajiban penyelenggara yang pelaksanaannya dilakukan
secara bertahap dan berlaku hanya untuk pelayanan jasa telepon Sambungan
Langsung Jarak Jauh (SLJJ) dan Sambungan Langsung Internasional (SLI) sepanjang
diminta oleh pengguna jasa telekomunikasi.
Perekaman pemakaian jasa
telekomunikasi adalah rekaman rincian data tagihan (billing), yang digunakan
untuk membuktikan pemakaian jasa telekomunikasi.
Ayat (2) dan (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Bila jaringan telekomunikasi terhubung dengan beberapa
jaringan lain yang menyelenggarakan jasa yang sama, maka pengguna jaringan tsb
harus dijamin kebebasannya untuk memilih salah satu dari jaringan yang
terhubung tadi melalui penomoran yang ditentukan.
Pada dasarnya pengguna berhak memilih penyelenggara jaringan
dan atau jasa telekomunikasi untuk menyalurkan hubungan telekomunikasinya.
Dalam pelaksanaannya penyelenggara jaringan dan atau jasa telekomunikasi dapat
mengubah rute hubungan dari pengguna ke jaringan penyelenggara lain tanpa
sepengetahuan pengguna.
Apabila terjadi, hal di atas bertentangan dengan prinsip
persaingan sehat yang dapat merugikan baik bagi penyelenggara maupun bagi
pengguna.
Pasal 20
Pengiriman informasi adalah tahap awal dari proses
bertelekomunikasi, yang dilanjutkan dengan kegiatan penyaluran sebagai proses
antara dan diakhiri dengan kegiatan penyampaian informasi untuk penerimaan
pihak yang dituju. Prioritas pengiriman, penyaluran dan penyampaian informasi
yang akan ditetapkan oleh pemerintah antara lain berita tentang musibah.
Pasal 21
Penghentian kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi
dapat dilakukan oleh pemerintah setelah diperoleh informasi yang patut diduga
dengan kuat dan diyakini bahwa penyelenggaraan telekomunikasi tsb melanggar
kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar
kebutuhan atas penomoran dari penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa
telekomunikasi serta penggunanya dapat dipenuhi secara adil dan selaras dengan
ketentuan internasional.
Nomor adalah rangkaian tanda dalam
bentuk angka terdiri atas kode akses dan nomor pelanggan yang dipergunakan
untuk mengidentifikasi suatu alamat pada jaringan atau pelayanan telekomunikasi.
Ayat (2)
Penomoran adalah sumber daya
terbatas dan oleh karena itu sistem penomoran diatur oleh Menteri secara adil.
Penomoran pada jaringan telekomunikasi terkait dengan teknologi dan ketentuan
internasional.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1) s/d (4)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Biaya hak penyelenggaraan
telekomunikasi adalah kewajiban yang dikenakan kepada penyelenggara jaringan
dan atau jasa telekomunikasi sebagai kompensasi atas perizinan yang
diperolehnya dalam penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi, yang
besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari pendapatan dan merupakan
Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang disetor ke Kas Negara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 27
Susunan tarif jaringan dan atau jasa telekomunikasi meliputi
struktur dan jenis tarif ditetapkan oleh pemerintah. Berdasarkan struktur dan
jenis tsb, penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi
dapat menetapkan besaran tarif.
Struktur tarif terdiri atas biaya pasang baru (aktivasi,
biaya berlangganan bulanan, biaya penggunaan, dan biaya jasa tambahan
(feature).
Jenis tarif terdiri atas tarif pulsa lokal, tarif pulsa
Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ), tarif Sambungan Langsung Internasional
(SLI) dan air time untuk jasa sambungan telepon bergerak.
Pasal 28
Formula sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan
pola perhitungan untuk menetapkan tarif.
Formula tarif terdiri atas formula awal dan formula tarif
perubahan.
Dalam menetapkan formula tarif awal, yang harus diperhatikan
adalah komponen biaya, sedangkan untuk menetapkan formula besaran tarif
perubahan diperhatikan juga antara lain faktor inflasi, kemampuan masyarakat,
dan kesinambungan pembangunan telekomunikasi.
Pasal 29
Ayat (1)
Larangan bagi penyelenggaraan
telekomunikasi khusus untuk disambungkan ke jaringan penyelenggara
telekomunikasi lainnya dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi ruang
lingkup penyelenggaraan telekomunikasi khusus yang memang hanya untuk keperluan
sendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk
mengatasi masalah kebutuhan jasa telekomunikasi di suatu daerah yang karena
keadaan tertentu belum dapat dijangkau oleh jasa telekomunikasi. Oleh karena
itu Undang-undang ini memandang perlu untuk memberikan kemungkinan kepada
penyelenggara telekomunikasi khusus yang sebenarnya hanya bergerak untuk
kepentingan sendiri, dapat memberikan pelayanan jasa telekomunikasi kepada
masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tersebut.
Ayat (2)
Penyelenggara telekomunikasi
khusus yang menyelenggarakan jaringan dan atau jasa telekomunikasi dapat
melanjutkan penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi dengan
pertimbangan investasi yang telah dilakukannya dan kesinambungan pelayanan
kepada pengguna.
Dalam hal ini penyelenggara
telekomunikasi khusus yang bersangkutan wajib memenuhi seluruh ketentuan yang
berlaku bagi penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Untuk keperluan pertahanan
keamanan negara, fasilitas telekomunikasi yang dimiliki oleh penyelenggara
telekomunikasi lainnya dapat dimanfaatkan.
Penggunaan atau pemanfaatan
jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dilakukan sepanjang
jaringan telekomunikasi untuk keperluan pertahanan keamanan negara, yang dalam
hal ini oleh Tentara Nasional Indonesia, tidak dapat berfungsi atau tidak tersedia.
Dalam hal negara dalam keadaan
bahaya ketentuan ayat ini tidak berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Persyaratan teknis alat perangkat
telekomunikasi merupakan syarat yang diwajibkan terhadap alat/perangkat
telekomunikasi agar pada waktu dioperasikan tidak saling mengganggu
alat/perangkat telekomunikasi lain dan atau jaringan telekomunikasi atau alat
perangkat selain perangkat telekomunikasi.
Persyaratan teknis dimaksud lebih
ditujukan terhadap fungsi alat/perangkat telekomunikasi yang berupa parameter
elektris/elektronis serta dengan memperhatikan pula aspek di luar parameter
elektris/elektronis sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan aspek lainnya,
misalnya lingkungan, keselamatan, dan kesehatan.
Untuk menjamin pemenuhan
persyaratan teknis alat/perangkat telekomunikasi, setiap alat atau perangkat
telekomunikasi dimaksud harus diuji oleh balai uji yang diakui oleh pemerintah
atau institusi yang berwenang.
Ketentuan persyaratan teknis
memperhatikan standar teknis yang berlaku secara internasional,
mempertimbangkan kepentingan masyarakat, dan harus berdasarkan pada teknologi
yang terbuka.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Pemberian izin penggunaan spektrum
frekuensi radio dan orbit satelit didasarkan kepada ketersediaan spektrum
frekuensi radio yang telah dialokasikan untuk keperluan penyelenggaraan
telekomunikasi termasuk siaran sesuai peruntukannya.
Tabel alokasi frekuensi radio
disebarluaskan dan dapat diketahui oleh masyarakat secara transparan.
Apabila ketersediaan spektrum
frekuensi radio dan orbit satelit tidak memenuhi permintaan atau kebutuhan
penyelenggaraan telekomunikasi maka perolehan izinnya antara lain dimungkinkan
melalui mekanisme pelelangan.
Ayat (2)
Frekuensi radio adalah jumlah
getaran telekomunikasi untuk 1 (satu) periode, sedangkan spektrum frekuensi
radio adalah kumpulan frekuensi radio.
Penggunaan frekuensi radio
didasarkan pada ruang, jumlah getaran, dan lebar pita, yang hanya dapat
digunakan oleh 1 (satu) pihak. Penggunaan secara bersamaan pada ruang, jumlah
getaran dan lebar yang sama atau berhimpitan akan saling mengganggu.
Frekuensi dalam telekomunikasi
digunakan untuk membawa atau menyalurkan informasi. Dengan demikian agar
informasi dapat dibawa atau disalurkan dengan baik tanpa gangguan maka
penggunaan frekuensinya harus diatur. Pengaturan frekuensi antara lain mengenai
pengalokasian pita frekuensi dan peruntukannya.
Orbit satelit adalah suatu
lintasan ini angkasa yang dilalui oleh suatu pusat masa satelit. Orbit satelit
terdiri atas orbit satelit geostasioner, orbit satelit rendah dan orbit satelit
menengah.
Orbit satelit geostasioner adalah
suatu lintasan yang dilalui oleh suatu pusat masa satelit yang disebabkan oleh
gaya gravitasi bumi yang mempunyai kedudukan tetap terhadap bumi. Orbit satelit
geostasioner berada di atas khatulistiwa dengan ketinggian 36.000 km.
Orbit satelit rendah dan menengah
adalah suatu lintasan yang dilalui oleh suatu pusat masa satelit yang
kedudukannya tidak tetap terhadap bumi. Ketinggian orbit satelit rendah sekitar
1 .500 km dan orbit satelit menengah sekitar 11.000 km.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Biaya hak penggunaan spektrum
frekuensi radio merupakan kompensasi atas penggunaan frekuensi sesuai dengan
izin yang diterima. Di samping itu, biaya penggunaan frekuensi dimaksudkan juga
sebagai sarana pengawasan dan pengendalian agar frekuensi radio sebagai sumber
daya alam terbatas dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Besarnya biaya penggunaan
frekuensi ditentukan berdasarkan jenis dan lebar pita frekuensi. Jenis
frekuensi akan berpengaruh pada mutu penyelenggaraan, sedangkan lebar pita
frekuensi akan berpengaruh pada kapasitas/jumlah informasi yang dapat
dibawa/dikirim.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan wilayah
perairan Indonesia adalah wilayah laut teritorial termasuk perairan dalam. Dengan
demikian, pengertian ini menjangkau konsepsi negara kepulauan sebagaimana
diakui dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut
Internasional yang selanjutnya telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 17
Tahun 1985.
Karena kapal berbendera asing
tersebut telah dilengkapi dengan perangkat telekomunikasi yang pemasangan dan
pengoperasiannya mengikuti ketentuan yang berlaku di negaranya, maka ketentuan
tentang persyaratan teknis yang ditetapkan Menteri tidak dapat diterapkan
kepadanya.
Penggunaan perangkat
telekomunikasi tersebut di wilayah perairan Indonesia tetap harus mengikuti
ketentuan internasional yang berlaku, yakni prinsip tidak saling mengganggu dan
sesuai dengan peruntukannya.
Ayat (2)
Larangan menggunakan spektrum
frekuensi radio atau orbit satelit di wilayah perairan Indonesia dimaksudkan
untuk melindungi keamanan negara dan untuk mencegah dirugikannya
penyelenggaraan telekomunikasi.
Dinas bergerak pelayaran (maritime
mobile service) adalah telekomunikasi antara stasiun pantai dan stasiun kapal,
antar stasiun kapal, antar stasiun komunikasi pelengkap di kapal, stasiun
kendaraan penyelamat, atau stasiun rambu radio penunjuk posisi darurat.
Ketentuan ini hanya berlaku untuk
kapal sipil dan tidak berlaku bagi kapal milik Tentara Nasional Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Ketentuan teknis tentang perangkat
telekomunikasi yang ditetapkan Pemerintah tidak dapat diterapkan kepada pesawat
udara asing karena pesawat udara asing tersebut mengikuti ketentuan yang
berlaku di negaranya.
Penggunaan perangkat
telekomunikasi tersebut tetap harus mengikuti ketentuan internasional yang
berlaku, yakni prinsip tidak saling mengganggu dan sesuai dengan peruntukannya.
Ayat (2)
Larangan menggunakan spektrum
frekuensi radio atau orbit satelit di wilayah udara Indonesia dimaksudkan untuk
melindungi keamanan negara dan untuk mencegah dirugikannya penyelenggaraan
telekomunikasi.
Dinas bergerak penerbangan
(aeronautical mobile service) adalah telekomunikasi antara stasiun penerbangan
dan stasiun pesawat udara, antar stasiun pesawat udara yang juga dapat mencakup
stasiun kendaraan penyelamat, dan stasiun rambu radio penunjuk posisi darurat.
Dinas tersebut beroperasi pada
frekuensi yang ditentukan untuk marabahaya dan keadaan darurat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 37
Asas timbal balik yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah
asas dalam hubungan internasional untuk memberikan perlakuan yang lama kepada
perwakilan diplomatik asing di Indonesia sebagaimana perilaku yang diberikan
kepada perwakilan Indonesia di negara yang bersangkutan.
Pasal 38
Perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap
penyelenggaraan telekomunikasi dapat berupa :
a.
tindakan fisik yang menimbulkan kerusakan suatu
jaringan telekomunikasi sehingga jaringan tersebut tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya;
b.
tindakan fisik yang mengakibatkan hubungan
telekomunikasi tidak berjalan sebagaimana mestinya;
c.
penggunaan alat telekomunikasi yang tidak sesuai
dengan persyaratan teknis yang berlaku;
d.
penggunaan alat telekomunikasi yang bekerja
dengan gelombang radio yang tidak sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan
gangguan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi lainnya; atau
e.
penggunaan alat bukan telekomunikasi yang tidak
sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan pengaruh teknis yang tidak
dikehendaki suatu penyelenggaraan telekomunikasi.
Pasal 39
Ayat (1)
Kegiatan pengamanan telekomunikasi
dilaksanakan oleh penyelenggara telekomunikasi yang dimulai sejak perencanaan
pembangunan sampai dengan akhir masa pengoperasian.
Lingkup perencanaan pembangunan
termasuk antara lain rancang bangun dan rekayasa, yang harus memperhitungkan
perlindungan dan pengamanan terhadap gangguan elektromagnetis, alam, dan lingkungan.
Dalam kegiatan pengamanan dan
perlindungan instalasi penyelenggara mengikutsertakan masyarakat dan
berkoordinasi dengan pihak yang berwenang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40
Yang dimaksud dengan penyadapan dalam pasal ini adalah
kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi
untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah. Pada dasarnya
informasi yang dimiliki oleh seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi
sehingga penyadapan harus dilarang.
Pasal 41
Rekaman informasi antara lain rekaman percakapan antar pihak
yang bertelekomunikasi.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan proses
peradilan pidana dalam ketentuan ini mencakup penyidikan, penuntutan dan
penyidangan.
Huruf a
Yang dimaksud dengan tindak pidana
tertentu adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara selama 5
(lima) tahun ke atas, seumur hidup atau mati.
Huruf b
Contoh tindak pidana tertentu
sesuai dengan Undang-undang yang berlaku ialah tindak pidana yang sesuai dengan
Undang-undang tentang Narkotika dan tindak pidana yang sesuai dengan
Undang-undang tentang Psikotropika.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1) s/d Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 45
Pengenaan sanksi administrasi dalam ketentuan ini
dimaksudkan sebagai upaya pemerintah dalam rangka pengawasan dan pengendalian
penyelenggaraan telekomunikasi.
Pasal 46
Ayat (1) dan Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Badan Penyelenggara adalah Badan
Penyelenggara sesuai dengan yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun
1989.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan hal tertentu
adalah hak eksklusivitas untuk menyelenggarakan jasa telekomunikasi tetap
sambungan lokal. Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ), dan Sambungan Langsung
internasional (SLI) yang diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Penyelenggara.
Sejalan dengan Undang-undang ini
yang akan mengakhiri monopoli di bidang telekomunikasi, Pemerintah dapat
mempersingkat jangka waktu hak tertentu tersebut.
Untuk mempercepat berakhirnya
jangka waktu hak tertentu dilakukan melalui cara dan persyaratan yang
disepakati bersama, dengan memperhatikan prinsip kejujuran dan keadilan serta
keterbukaan (fairness), misalnya dengan pemberian kompensasi.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3881
Tidak ada komentar:
Posting Komentar