Pasca
Reformasi tahun 1998, memang ada perubahan fundamental dalam sistem
pendidikan nasional. Perubahan sistem pendidikan tersebut mengikuti
perubahan sistem pemerintah yang sentralistik menuju desentralistik atau
yang lebih dikenal dengan otonomi pendidikan dan kebijakan otonomi
nasional itu mempengaruhi sistem pendidikan kita. Sistem pendidikan kita
pun menyesuaikan dengan model otonomi. Kebijakan otonomi di bidang
pendidikan otonomi pendidikan kemudian banyak membawa harapan akan
perbaikan sistem pendidikan kita. Kebijakan tersebut masih sangat baru,
maka sudah barang tertentu banyak kendala yang masih belum
terselesaikan.
Otonomi
yang didasarkan pada UU No. 22 tahun 1999, yaitu memutuskan suatu
keputusan dan atau kebijakan secara mandiri. Otonomi sangat erat
kaitanya dengan desentralisasi. Dengan dasar ini, maka otonomi yang
ideal dapat tumbuh dalam suasana bebas, demokratis, rasional dan sudah
barang tentu dalam kalangan insan-insan yang “berkualitas”. Oleh karena
itu, rekonstruksi dan reformasi dalam Sistem Pendidikan Nasional dan
Regional, yang tertuang dalam GBHN 1999, juga telah dirumuskan misi
pendidikan nasional kita, yaitu mewujudkan sistem dan iklim pendidikan
nasional yang demokratis dan bermutu, guna memperteguh akhlak mulia,
kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin,
bertanggung jawab, berketerampilan serta menguasai iptek dalam rangka
mengembangkan kualitas manusia Indonesia
Babarapa
kalangan pakar dan praktisi pendidikan, mencermati kebijakan otonomi
pendidikan sering dipahami sebagai indikasi kearah “liberalisasi” atau
lebih parah lagi dikatakan sebagai indikasi kearah “komersialisasi
pendidikan”. Hal ini, menurut Suyanto, semakin dikuatkan dengan
terbentuknya Badan Hukum Pendidikan [BHP] yang oleh beberapa pengamat
dianggap sebagai pengejawantahan dari sistem yang mengarah pada
“liberalisasi pendidikan”
Berbagai
problem fundamental yang dihadapi pendidikan nasional saat ini, yang
tercermin dalam “realitas” pendidikan yang kita jalan. Seperti persoalan
anggaran pendidikan, kurikulum, strategi pembelajaran, dan persoalan output
pendidikan kita yang masih sangat rendah kualitasnya. Problem-problem
pendidikan yang bersifat metodik dan strategik yang membuahkan output yang sangat memprihatinkan. Output, pendidikan kita memiliki mental yang selalu tergantung kepada orang lain. Output
pendidikan kita tidak memiliki mental yang bersifat mandiri, karena
memang tidak kritis dan kreatif. Akhirnya, output yang pernah mengenyam
pendidikan, menjadi “pengangguran terselubung”.
- B. Pengalaman Pendidikan Pasca Reformasi
Kebijakan
pendidikan kita, berpikir dalam acuan keseragaman. Dapat dikatakan
bahwa selama ini kebijakan pendidikan semuanya terpusat. Kurikulum
ditetapkan di pusat, tenaga pendidikan ditentukan dari pusat, sarana dan
prasarana pendidikan diberikan dari pusat, dana pendidikan ditentukan
dari pusat, semuanya diseragamkan dari pusat. Maka yang terjadi adalah
masyarakat jadi pasif tidak tahu dan tidak dapat berkecimpung di dalam
kehidupan pendidikan anak-anak mereka. Padahal, masyarakat memiliki
harapan dan dampak terhadap upaya pendidikan di Indonesia , walaupun
mereka mempunyai perbedaan dalam status sosial, peranan dan
tanggungjawab. Hal yang sangat ironis lagi, adalah menempatkan
pendidikan sebagai kerja “non akademik”, pendidikan
diselenggarakan dengan “otorita” kekuasaan “administratif-birokratis”,
belum menempatkan pendidikan sebagai kerja “akademik” dan penyelenggaraan pendidikan dibawah “otorita keilmuan”.
Sistem
pendidikan kita terlihat masih bersifat tambal sulam, mulai dari
kebijakan kurikulum, manajemen, sistem pembelajaran, tuntutan kualitas
guru, tuntutan fasilitas dan dana pendidikan, kurang memliki “prioritas”
yang ingin dicapai. Sementara secara umum, pendidikan seringkali
dipandang sebagai investasi modal jangka panjang yang harus mampu
membekali “pembelajar” untuk menghadapi kehidupan masa depannya.
Pendidikan harus mampu mencerahkan “pembelajar” dari ketidak tahuan
menjadi tahu dan memberdayakan, artinya pendidikan mampu membuat
“pembelajar” berhasil dalam kehidupan. Maka, berbicara soal pendidikan
adalah bicara “soal kualitas kehidupan “pembelajar”, soal kualitas
sumberdaya manusia [SDM], yang akan menjadi tantangan dan sekaligus
peluang bagi bangsa Indonesia untuk ikutan bergulir sejajar dengan
bangsa lain.
- C. Perubahan Paradigma Pendidikan Pasca Reformasi
Pada era
reformasi, masyarakat Indonesia menginginkan perubahan dalam semua
aspek kehidupan bangsa. Berbagai terobosan telah dilakukan dalam
penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan, dengan kata lain diperlukan
paradigma-paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan perubahan
masyarakat tersebut. Katakan saja, pembaharuan pada sektor pendidikan
yang memiliki peran strategis dan fungsional juga memerlukan paradigma
baru yang harus menekankan pada perubahan cara berpikir dalam
pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan.
Paradigma
tersebut harus berimplikasi pada perubahan perspektif dalam pembangunan
pendidikan, mulai dari perspektif yang menganggap pendidikan sebagai
sektor pelayanan umum ke perspektif pendidikan sebagai suatu investasi
produk yang mampu mendorong pertumbuhan masyarakat di berbagai bidang
kehidupan. Sebab pendidikan bukan bidang yang terlepas dari “kehidupan”
lainnya
Paradigma
pendidikan dalam pembangunan yang diikuti para penentu kebijakan
pemerintah kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun
metodologis.
Dalam
hal ini, tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses
pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu. Hal ini,
memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal kita akan
mampu mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem
dunia kerja yang semakin kompleks. Tetapi, mungkin saja pendidikan kita
tidak mempu menjawab tantangan tersebut, sebab pada kenyataannya,
kemampuan kompetensi yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak
sesuai dengan kebutuhan yang ada.
Akhir
dari tulis ini, paparan yang dikemukakn di atas, dapat dikatakan bahwa
pendidikan nasional kita perlu adanya filosofi, visi, dan misi
pendidikan Indonesia yang dapat menggambarkan paradigma yang relevan
dengan jiwa reformasi yang di dalamnya telah tumbuh sistem demokratisasi
dan kebebasan yang beradab dan beraklak yang sedang kita kembangkan
sekarang ini dalam berbagai bentuk. Maka sudah tentu dalam aspek
politik pendidikan dan Kebudayaan harus mendukung jiwa reformasi
tersebut, sehingga pendidikan di Indonesia dapat mewujudkan manusia
Indonesia Baru yang berkepribadian kuat, berkualitas, kritis, inivatif,
toleransi dalam fluralisme dan siap bersaing dengan dunia luar.
Paradigma Baru Politik Pasca Perubahan UUD 1945
Era
reformasi yang dimulai pada tahun 1999, membawa perubahan-perubahan
yang mendasar dalam sisitem pemerintahan dan ketatanegaraan kita
sebagaimana nampak pada perubahan yang hampir menyeluruh atas
Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan
undang-undang dasar ini, sebenarnya terjadi demikian cepat tanpa
dimulai oleh sebuah perencanaan panjang. Hal ini terjadi karena didorong
oleh tuntutan perubahan-perubahan yang sangat kuat pada awal reformasi
antara lain tuntutan atas kehidupan negara dan penyelenggaraan
pemerintahan yang lebih demokratis, penegakkan hukum yang lebih baik,
penghromatan atas hak-hak asasi manusia dan berbagai tuntutan
perubahan-perubahan lainnya.
Terhadap
berbagai tuntutan tersebut para anggota MPR meresponsnya dengan memulai
perubahan-perubahan itu dengan perubahan terhadap sesuatu yang mendasar
yaitu perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang didasarkan pada pemikiran
antara lain bahwa salah satu sumber permaslahan yang menimbulkan
problem politik dalam penyelenggaraan pemerintahan negara selama ini
adalah pada kelemahan Undang-Undang Dasar 1945 antara lain:
v UUD 1945 menyerahkan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden;
v Tidak adanya prinsip check and balances dalam UUD 1945 antara lain menyerahkan kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat;
v UUD
1945, terlalu fleksibel menyerahkan penyelenggaraan negara yang
diserahkan pada semangat para penyelenggara negara yang dalam
pelaksanaannya banyak disalahgunakan;
v Pengaturan mengenai hak asasi manusia yang minim; serta
v Kurangnya pengaturan mengenai pemilu dan mekanisme demokrasi.
Oleh
karena itu, perubahan UUD 1945 yang pertama pada sidang umum tahun
1999, terjadi dalam waktu yang sangat singkat yaitu hanya sekitar satu
minggu perdebatan pada tingkat Panitia Ad Hoc, menghasilkan perubahan
penting terhadap 9 pasal penting yang terkait dengan penyeimbangan
kedudukan Presiden dengan DPR.
Walaupun
demikian, kalau kita kembali melihat sejak awal pemerintahan Presiden
Habibie ide perubahan UUD 1945 telah dimulai dan bahkan pernah dibentuk
sebuah panitia yang diketuai oleh Prof.DR. Bagir Manan untuk mengkaji
perubahan UUD ini dan telah melakukan serial diskusi yang cukup panjang
serta telah menghasilkan berbagai pemikiran terhadap perubahan
undang-undang dasar ini dalam sebuah buku. Karena itu, ketika perdebatan
pada MPR mengenai perubahan undang-undang dasar ini sebagian besar
fraksi telah menyiapkan rancangan perubahan yang menyeluruh atas
undang-undang dasar 1945 itu. Karena waktu yang tidak memungkinkan, maka
perubahan pertama itu hanya terjadi terhadap beberapa pasal yang
terkait dengan pembatasan kekuasaan Presiden dan penguatan DPR, dan
perubahan lainnya dicadangkan pada sidang tahunan berikutnya.
Karena
begitu luasnya perdebatan awal ketika memulai perubahan ini, untuk
menghindari disorientasi dalam perubahan-perubahan yang akan dilakukan,
seluruh fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada saat itu
menyepakati lima prinsip yaitu:
a. tidak mengubah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
b. tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. mempertegas sistem pemerintahan Presidensial;
d. penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan kedalam pasal-pasal;
e. perubahan dilakukan dengan cara adendum.
Perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yang telah dilakukan selama 4 kali
-Perubahan Pertama tahun 1999, Perubahan Kedua tahun 2000, Perubahan
Ketiga tahun 2001 dan Perubahan Keempat tahun 2002- telah membawa
implikasi politik yang sangat luas dalam system ketatanegaraan
Indoneisa.
Kalau kita membaca dengan cermat perubahan tersebut, maka akan nampak
bahwa empat kali perubahan tersebut merupakan satu rangkaian perubahan
yang dilakukan secara sistematis dalam rangka menjawab tantangan baru
kehidupan politik Indonesia yang lebih demokratis sesuai dengan
perkembangan dan perubahan masyarakat. Tuntutan perubahan system politik
dan ketatanegaraan dalam bentuk perubahan Undang Dasar 1945, adalah
pesan yang sangat jelas disampaikan oleh gerakan reformasi yang dimulai
sejak tahun 1998.
Keempat perubahan ini, mencakup aspek yang sangat luas dan mendalam
baik dari jumlah pasal yang diubah dan ditambah maupun dari substansi
perubahan yang terjadi. UUD 1945 sebelum perubahan hanya terdiri dari 16
bab, 37 pasal dan 47 ayat ditambah 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat
Aturan Tambahan. Setelah 4 kali perubahan, UUD 1945 menjadi 20 bab, 73
pasal, 171 ayat ditambah 3 pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan
Tambahan. Substansi perubahan menytentuh hal-hal yang sangat mendasar
dalam system politik dan ketatanegaraan yang berimplikasi pada perubahan
berbagai peraturan perundangan dan kehidupan politk Indonesia di masa
depan. Dalam kerangka inilah berbagai perundang-undangan baru bidang
politik disusun, yaitu UU Partai Politik, UU Pemilu Legislatif dan
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta UU Susunan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD).
Keanggotaan ,Kewenangan MPR dan Hubungan MPR dengan lembaga Lain
Terdapat
dua perubahan mendasar pada MPR, setelah perubahan yaitu perubahan
susunan keanggoataan serta perubahan kewenangan MPR, yang berimplikasi
pada perubahan dalam tata hubungannya dengan lembaga-lemabaga Negara
yang lainnya.
a. Keanggotaan MPR
Sebelum
perubahan, keanggoatan MPR terdiri dari Anggota DPR ditambah dengan
Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Merujuk pada masa Orde Baru anggota
MPR berjumlah 1000 orang yang terdari dari 500 anggota DPR (400 orang
yang dipilih melalui pemilu dan 100 dari ABRI yang diangkat), 5 orang
utusan daerah dari setiap propinsi (yaitu 160 untuk 27 Provinsi), dan
sisanya adalah utusan golongan.yang berjumlah 340 orang. Dari susunan
keanggotaan tersebut nampak sekali bahwa terdapat 440 orang anggota MPR
yang diangkat Presiden, 160 yang dipilih oleh DPRD dari 27 Provinsi
(pada periode ini Utusan Daerah bergabung dalam satu fraksi tersendiri
sedangkan utusan Golongan melebur dalam fraksi Partai Politik yang ada)
dan 400 orang yang dipilih dalam pemilu. Konfigurasi keanggotaan ini
menunjukkan dominasi Presiden yang sangat kuat terhadap MPR.
Pada
masa reformasi sekarang ini, sejak kejatuhan Soeharto, keanggotaan MPR,
diubah lagi yaitu hanya terdiri dari 700 orang dimana jumlah yang
diangkat oleh Presiden hanya 69 orang anggota Utusan Golongan yang
dipilih oleh KOmisi Pemilihan Umum (KPU), (dalam pengangkatan ini
Presiden hanya menyesahkan secara administratif sebagai Kepala Negara,
yaitu sama dengan pengangkatan anggota Utusan Daerah yang dipilih oleh
DPRD Provindi dan Anggota DPR yang dipilih dalam Pemilu). Perubahan ini
membawa implikasi pada betapa minimnya pengaruh Presiden terhadap MPR.
Setelah
Perubahan UUD, anggota MPR hanya terdiri dari anggota DPR (seluruhnya
dipilih melalui pemilu) dan anggota DPD yang merupakan wakil dari
daerah-daerah yang dipilih secara langsung dalam pemilu oleh rakyat di
daerah yang bersangkutan. Tidak ada lagi anggota MPR yang diangkat.
Perubahan
ini memperbaiki susunan anggota MPR, sehingga lebih demokratis dan
lebih menunjukan representasi rakyat yang lebih jelas dalam lembaga
perwakilan.
b. Kewenangan MPR
Filosofi kewenangan dan status MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan tercermin dalam pasal 1 ayat 2, yang berbunyi : ” Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Lebih lanjut kewenangan MPR adalah menetapkan Undang-Undang Dasar dan
garis-garis besar daripada haluan negara (diatur dalam pasal 3),
mengangkat Presiden dan Wakil Presiden (pasal 6 ayat 2), kemudian
diperkuat oleh Penjelasan UUD 1945.
Ketentuan ini menunjukkan dengan jelas bahwa posisi MPR sangat dominan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yaitu sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Ketika MPR terbentuk seakan-akan kedaulatan rakyat itu diambil alih sepenuhnya oleh MPR dan MPR memegang supreme power dalam ketatanegaraan Indonesia. Hal ini berimplikasi pada hubungan yang tidak seimbang antara lembaga-lembaga negara (tidak ada check and balances). Siapa
yang dapat mempengaruhi dan mendominasi MPR maka dialah yang paling
berkuasa. Jika Presiden dapat menguasai atau mempengaruhi MPR maka pasti
dia sangat berkuasa (seperti yang terjadi pada masa Orde Baru) dan
siapa yang tidak mampu mendominasi dan menguasai MPR, maka dia akan
menjadi sangat lemah (seperti kasus Presiden Habibie dan Abdurrahman
Wahid).
Dalam
kerangka pemikiran ini pul;a seluruh lembaga-lembaga Negara yang lain
harus melapor kepada MPR, karena MPR adalah sumber kekuasaan Negara,
yang mendistribusikan kekuasaannya pada lembaga-lembaga Negara itu.
Perubahan
UUD 1945, telah merubah filosofi dasar sumber kewenangan MPR,
sebagaimana tercermin dalam perubahan pasal 1 ayat 2, yaitu : “Kedaulatan ditangan rakyat dan dijalankan menurut Undang-Undang Dasar”.
Implikasi perubahan ini adalah direduksinya kewenangan MPR sebagai
pelaksana kedaulatan rakyat sepenuhnya, menjadi kedaulatan rakyat
dilaksanakan menurut UUD ini, yaitu oleh lembaga-lembaga Negara yang
diatur secara jelas kewenangannya dalam UUD. Presiden menjalankan
kedaulatan rakyat, untuk menjalankan pemerintahan Negara, karena dia
dipilih langsung juga oleh rakyat. DPR dan DPD menjalankan kedaulatan
rakyat dalam membentuk undang-undang dan mengawasi Presiden. Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi menjalan kedaulatan rakyat dalam bidang
yudikatif dan peradilan. Demikian pula terhadap lembaga-lembaga Negara
lainnya yang diatur dalam UUD ini.
Kewenangan
MPR, dipertegas yaitu hanya: mengubah dan menetapkan UUD, melantik
Presiden dan Wakil Presiden, memberhentikan Presiden dan atau Wakil
Presiden dalam masa jabtannya menurut UUD (pasal 3 UUD) serta memilih
Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan Wakili Presiden
dalam masa jabatannya (pasal 8 ayat (2)). Dengan demikian MPR kehilangan
kewenangannya untuk mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, menetapkan
garis-garis besar daripada haluan serta memberhentikan Presiden karena
pelanggaran garis-garis besar haluan negara.
c. Hubungan MPR dengan lembaga Negara lainnya
Dengan
perubahan ini tidak lagi dikenal lembaga tertinggi dan lembaga tinggi
negara dalam hubungan antar lembaga negara. Semua lembaga negara tidak
ada yang tinggi dan tidak ada yang rendah, akan tetapi kedudukannya
dilihat pada fungi dan kewenangannya yang diberikan oleh UUD. Karena
itu, lembaga-lembaga negara lainnya tidak lagi melapor kepada MPR,
karena MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara untuk
dilaksanakan oleh seluruh lembaga negara yang lainnnya.
Kerangka hubungan antar lembaga negara yang dibangun dalam perubahan UUD ini adalah prinsip check and balances. Artinya
hubungan yang seimbang antara lembaga Negara yang masing-masing
terkontrol oleh yang lainnya berdasarkan ketentuan UUD.
Posisi
MPR sebenarnya adalah “forum” sidang gabungan antara anggota DPR dengan
anggota DPD. MPR hanya bersidang pada saat-saat dibutuhkan, yaitu
ketika melantik Presiden dan atau Wakil Presiden, memberhentikan
Presiden, mengubah dan menetapkan UUD, serta memilih Wakil Presiden
dalam hal kekosongan jabatan Wakil Presiden. Jadi, tidak ada lagi
istilah Sidang Umum serta Sidang Tahunan MPR, yang ada adalah Sidang
MPR. Walaupun demikian, karena MPR memiliki kewenangan-kewenangan yang
mandiri, maka kedudukannya menjadi sebuah lembaga Negara tersendiri.
Setelah
perubahan UUD hubungan antara MPR dengan lembaga negara lainnya hanya
terlihat jelas dalam hubungannya dengan Presiden dan Wakil Presiden,
yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden, memberhentikan Presiden dan
atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD serta memilih
Wakil Presiden dalam hal kekosongan jabatan Wakil Presiden.
Reposisi Dewan Perwakilan Rakrat
Reposisi
DPR, dilakukan dengan maksud agar menempatkan DPR dalam posisi yang
tepat sebagai lembaga Negara yang memiliki kewenangan dibidang
legislative. Karena itu DPR, diberikan kekuasaan untuk membentuk
undang-undang [Pasal 20 (1)].
Sebelum
perubahan, kekuasaan membentuk undang-undang ini dimiliki oleh Presiden
[Pasal 5 ayat (1) sebelum perubahan]. Sedangkan DPR diposisikan sebagai
lembaga negara yang memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang
itu. Kedudukan ini berakibat pada hubungan yang tidak seimbang antara
Presiden dengan DPR, dimana Presiden disamping memegang kekuasaan
pemerintahan negara juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Hal
mengakibatkan pada tidak seimbangnya kekuasaan Presiden dengan DPR.
Padahal DPR sebenarnya adalah representara rakyat yang terpilih melalui
pemilu. Akibatnya dapat dilihat selama masa pemerintahan Orde Baru
Presiden dapat mengabaikan rancangan undang-undang yang sudah disetujui
oleh DPR bersama pemerintah di DPR, dan rancangan undang-undang itu
tidak disahkan.
Perubahan
UUD juga mempertegas fungsi pengawasan dari DPR, yaitu berupa hak
interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat [Pasal 20A ayat
(2)]. Setiap anggota DPR juga diberikan jaminan hak yang kuat dalam
konstitusi yaitu hak mengajukan pertanyaan, usul dan pendapat serta hak
imunitas [Pasal 20A ayat (3)]. Penegasan ini dimaksudkan untuk
memberikan kedudukan hukum yang lebih kuat bagi kewenangan DPR yang
diatur dalam konstitusi. Ketiga hak ini, sebelumnya hanya diatur dalam
undang-undang.
Perubahan
penting lain mengenai DPR, adalah diperjelasnya mekanisme rekruitmen
seluruh anggota DPR yang dipilih melalui pemilihan umum. Dengan demikian
tidak ada lagi anggota DPR yang diangkat seperti pada masa yang lalu
yaitu dari ABRI/TNI-POLRI. Dengan perubahan ini memberikan jaminan dan
legitimasi yang kuat kepada DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Bagaimana
system pemilu untuk memilih anggota DPR, tidak diatur dalam UUD, tetapi
akan diatur dalam undang-undang, agar memberikan keleluasaan kepada DPR
dan Presiden untuk memilih system pemilu yang tepat sesui keadaan dan
kondisi masyarakat. Persoalan yang paling mendasar bagi sebuah pemilu
yang baik adalah sejauhmana output pemilu itu menghasilkan wakil-wakil yang benar-benar mewakili rakyat, memahami kepentingan dan hati nurani rakyat.
Dewan Perwakilan Daerah, Sebuah Institusi Negara yang Baru
a. Kewenangan dan Posisi DPD Dalam Struktur Ketatanegaraan
DPD
merupakan lembaga negara yang memiliki kedudukan yang sama dengan DPR
sebagai lembaga perwakilan rakyat. Perbedaannya pada penekanan posisi
anggota DPD sebagai wakil dan representasi dari daerah (provinsi).
Setiap anggota DPD selalu berpikir tentang kepentingan daerahnya tanpa
terhambat oleh garis dan kepentingan partai politik, karena anggota DPD
adalah dari perseorangan bukan wakil partai politik. Pembentukan DPD
sebagai salah satu institusi negara yang baru, adalah dalam rangka
memberikan kesempatan kepada orang-orang daerah untuk ikut mengambil
kebijakan dalam tingkat nasional, khsususnya yang terkait dengan
kepentingan daerah. Pembentukan ini diharpkan akan lebih memperkuat
integrasi nasional serta semakin menguatnya perasaan kebersamaan sebagai
sebuah bangsa yang terdiri dari daerah-daerah.
Walaupun
kedudukan DPD adalah sejajar dengan kedudukan DPR dalam struktur
ketatanegaraan kita, tetapi kewenangannya, baik kewenangan bidang
legislasi maupun bidang pengawasan adalah sangat terbatas. Kewenangan
legislasi yang dimiliki oleh DPD adalah dapat mengajukan kepada DPR dan
ikut membahas rancangan undang-undang yang terkait dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat
dan daerah. Disamping itu DPD, memberikan pertimbangan kepada DPR atas
RUU APBN, RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.Apakah
DPD memiliki voting right atas RUU yang ikut dibahasnya itu?.
Tidak ditegaskan dalam UUD ini. Akan tetapi jika memperhatikan ketentuan
pasal 20 UUD, maka voting right yang penuh hanya dimiliki oleh DPR.
Dalam
bidang pengawasan DPD, melakukan pengawasan atas pelaksanaan berbagai
undang-undang yang ikut dibahas dan diberikan pertimbangan oleh DPD.
Namun kewenangan pengawasan ini menjadi sangat terbatas, karena hasil
pengawasan itu hanya untuk disampaikan kepada DPR untuk bahan
pertimbangan dan ditindaklanjuti.
Akan
tetapi pada sisi lain anggota DPD ini memiliki, kedudukan dan
kewenagann yang sama dengan anggota DPR, ketika bersidang dalam
kedudukannya sebagai anggota MPR, baik dalam perubahan UUD,
pemberhentian Presiden maupun pemilihan Wakil Preside.
b. Kenggotaan DPD
UUD
1945 (setelah perubahan), hanya menentukan bahwa jumlah anggota DPD
dari setiap provinsi adalah sama dan jumlah seluruh anggotanya tidak
lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR (pasal 22C ayat (2)).
Dengan
menetapkan jumlah wakil daerah yang sama dari setiap provinsi pada
keanggotaan DPD, menunjukkan kesamaan status dari provinsi-provinsi itu
sebagai bagian integral dari negara Inddonesia. Tidak membedakan
provinsi yang banyak atau sedikit penduduknya maupun yang besar atau
kecil wilayahnya. Penentuan jumlah anggota DPD yang tidak lebih dari
sepertiga jumlah anggota DPR, mengandung makna bahwa DPD ini – walaupun
kedudukan sama dengan DPR dalam steruktur ketatanegaraan – merupakan
lembaga perwakilan yang bersifat komplementer yang mengakomodasi
perwakilan daerah-daerah dalam tingkat nasional. Anggota DPD dipilih
secara langsung oleh rakyat dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.
Undang-undang
No.12 Tahun 2003, telah mengatur dengan jelas bahwa anggota DPD,
berjumlah 4 orang dari setiap provinsi. Dengan jumlah 30 provinsi pada
saat ini maka jumlah anggota DPD seluruhnya hanya 120 orang sehingga
tidak mencapai sepertiga anggota DPD.
Penguatan Sisytem Presidensil dan Reduksi Kewenangan Presiden
Perubahan
UUD ini juga, menunjukkan dua hal yang berlawannan dalam mengatur
lembaga Presiden. Pertama, memperkuat posisi Presiden dalam Struktur
ketatanegaraan Indonesia. Kedua; mereduksi beberapa kewenangan Presiden
sebagaimana diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan.
a. Penguatan Sistem Presidensial
Penguatan
system Presidensial terlihat pada mekanisme pemilihan Presiden dan
proses pemberhentian Presiden. Jika pemilihan dan pengangkatan Presiden
dan Wakil Presiden sebelum perubahan UUD dilakukan oleh MPR, maka
setelah perubahan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara
langsung oleh rakyat melalui pemilu. Karena dipilih langsung oleh
rakyat, Presiden mendapat legitimasi langsung dari rakyat dan
kedudukannya menjadi lebih kuat dihadapan lembaga negara yang lainnya,
walaupun dihadapan MPR. Konsekwensinya, adalah adanya jaminan bahwa
Presiden dan Wakil Presiden akan menduduki masa jabatannya dalam waktu
tertentu (5 tahun) dan tidak mudah diberhentikan hanya karena dinggap
melakukan kebijakan politik yang salah.
b. Mekanisme Pemberhentian Presiden Dipersulit
Berbeda
dengan system presidensil yang dianut sebelum perubahan, menempatkan
Presiden dibawah MPR. Karena MPR yang mengangkat, MPR juga yang dapat
memberhentikan Presiden walaupun dengan alasan alasan politis karena
Presiden membuat kebijakan yang melanggar haluan Negara.Jadi system ini
sebenarnya hampir sama dengan system Parlementer yang menganut supremasi
parlemen atas eksekutif. Meknaisme pemberhentian Presiden dalam system
yang lalu cukup dengan usulan Sidang Istimewa dari DPR, setalah DPR
menyampaikan Memorandum Pertama dan Kedua kepada Presiden. Atas dasar
usulan DPR itu MPR melaksanakan Sidang Istimewa untuk meminta
pertanggunganjawaban Presiden. Jika Presiden tidak datang memberikan
pertanggungjawaban atau pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR, maka
akibatnya Presiden bisa diberhentikan oleh MPR. Dalam proses ini tidak
pembuktian perlu yuridis oleh institusi peradilan (Yudikatif) untuk
memberikan penilaian secara hokum atas kesalahan Presiden itu.
Dalam system baru pasca perubahan UUD, Presiden tidak dapat
diberhentikan hanya karena alasan-alasan politis. Presiden hanya dapat
diberhentikan dalam hal Presiden atau Wakil Presiden melakukan
pelanggaran hukum yang berupa, pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya serta perbuatan tercela dan tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden (pasal
7A). Demikian juga mekanisme pemberhentian Presiden harus menempuh
mekanisme yang sulit dan panjang, yaitu melalui pengkajian dan
penyelidikan yang dilakukan oleh DPR yang menhasilkan pendapat berupa
keputusan DPR yang mengusulkan pemberhentian Presiden dan atau Wakil
Presiden kepada MPR. Sebelum Proses pengajuan ke MPR, DPR harus terlebih
dahulu meminta putusan kepada Mahkamah Konstitusi apakah secara yuridis
pendapat DPR ini dibenarkan atau tidak. Jika secara yuridis tidak
berdasar, maka usulan pemberhentian itu tidak dapat dilanjutkan.
Sebaliknya kalau secara yuridis benar, maka DPR melanjutkan usulan itu
kepada MPR untuk memutuskannya. Atas pertimbangannya sendiri MPR dapat
memberhentikan atau tidak memberhentikan Presiden berdasar jumlah
dukungan suara anggota MPR. Logikanya jika usulan pemberhentian tersebut
telah mendapat dukungan kuat dari anggota DPR, maka dapat dipastikan
akan mendapat dukungan kuat dari MPR, karena lebih dari duapertiga
anggota MPR adalah anggota DPR.
c. Reduksi dan Pembatasan Kewenangan Presiden
Untuk menjaga prinsip check and balances antar
lembaga Negara, serta membatasi kewenangan Presiden yang telah
diperkuat kedudukannya, kewenangan Presiden dikurangi dan dibatasi oleh
UUD agar tidak disalahgunakan. Reduksi dan pembatasan kewenangan ini
nampak pada, penghapusan kekuasan Presiden membentuk undang-undang
(pasal 5), Pembatasan kekuasaan Presiden untuk mengangkat duta dan
menerima duta Negara sahabat dengan mengahruskan adanya pertimbangan DPR
(pasal 13), membatasi kewenangan Presiden menggunakan haknya untuk
memberikan Grasi dan Rehabilitasi yang mengharuskan adanya pertimbangan
Mahkamah Agung (pasal 14 ayat (1)), membatasi kewenangan Presiden dalam
menggunakan haknya untuk memberikan Amnesti dan abolisi yang
mengharuskan adanya pertimbangan DPR serta mengharuskan Presiden untuk
meminta persetujuan DPR dalam menyatakan perang atau melakukan
perjanjian internasional (pasal 11). Demikian pula dalam hal pembentukan
dan pembubaran departemen pemerintah harus dengan persetujuan DPR
(pasal 17 ayat (4)).
Memperkuat Kedudukan Kekuasaan Kehakiman (Yudikatif)
Perubahan
UUD ini mengintrodusi lembaga Negara yang baru dibidang yudikatif yaitu
Mahkamah Konstitusi yang kedudukannya berada disamping Mahkamah Agung.
a. Prinsip Konstitusionalisme
Kekuasaan
kehakiman sebagai pilar negara hukum Indonesia mendapat jaminan yang
lebih kuat dalam perubahan UUD ini. Hal ini nampak pada diberikannya
kewenangan untuk melakukan hak uji (materil dan atau formil) atas
undang-undang yang merupakan produk bersama DPR dengan Presiden.
Undang-undang yang telah dikeluarkan oleh DPR dan Presiden dapat
dinyatakan tidak belaku baik sebahagian maupun keseluruhannya oleh
lembaga Yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi. Hak ini sebelum perubahan
UUD, tidak diserahkan kepada kekuasaan yudikatif, yang akibatnya segala
produk undang-undang tidak mungkin dilakukan pengujian oleh lembaga
peradilan, sehingga tidak mungkin dapat dibatalkan kecuali dicabut
sendiri oleh DPR bersama Presiden. Dengan perubahan ini mengantarkan
negara ini kepada negara yang menganut prinsip konstitusinalisme.
Artinya segala tindakan dan produk lembaga-lembaga dan istitusi Negara
harus dapat diuji apakah sesuai atau tidak sesuai dengan konstitusi
berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi.
b. Prinsip Akuntabilitas pada Peradilan
Dalam
rangka menegakkan prinsip akuntabilitas lembaga peradilan, dalam
perubahan UUD ini mengintrodusir lembaga Negara yang baru yaitu Komisisi
Yudisial yang merupakan bagian dari pelakasanaan kekuasaan kehakiman.
Komisi Yudisial adalah sebuah komisi yang dibentuk dengan undang-undang
yang memiliki kewenangan untuk mengawasi dan menegakan harkat dan
kehormatan hakim serta melakukan rekruitmen awal calon hakim agung yang
akan diajukan kepada DPR untuk dipilih. Walaupun komisi ini merupakan
bagian dari kekuasaan kehakiman, akan tetapi merupakan sebuah lembaga
pengawasan eksternal terhadap para hakim pengadilan. Komisi ini yang
akan menilai kinerja para hakim, dapat menjukan usulan promosi, demosi
atau sanksi kepada para hakim. Keanggotan komisi ini akan dipilih oleh
DPR dan diangkat oleh Presiden. Pembentukan lembaga ini dirasakan
pentingnya karena selama ini hakim tidak terjangkau oleh pengawasan yang
bersifat eksternal.
Sentralisasi dan Unitarisme Menjadi Desentralisasi dan Pluralisme
Walaupun semboyan Negara Republik Indonesia adalah “Bhinneka Tunggal Ika”, akan
tetapi praktek selama ini, terutama pada masa Orde Baru tidak
menunjukkan arti semboyan itu. Hal ini nampak pada kebijakan pemerintah
yang selalu menunjukan kebijakan yang unitarian yaitu
penyeragaman untuk seluruh wilayah Indonesia dan kebijakan yang sangat
sentralistis. Akibatnya, adalah terhapusnya masyarakat hukum adat
berikut hak-hak adatnya di seluruh Indonesia serta penyeragaman system
pemerintahan sampai pada tingkat yang paling bawah. Demikian juga dengan
kebijakan-kebijakan menyangkut daerah yang sangat sentralistis. Daerah
tidak berdaya dan hanya menjalankan kebijakan-kebijakan yang terpusat.
Perubahan
UUD ini, menggeser model kebijakan yang unitarisme dan sentralistis
menjadi kebijakan desentralistis dan lebih menghormati pluralisme. Hal
ini nampak pada perubahan pasal 18 UUD 1945. Dalam perubahan ini
dihormati dan diperhatikan adanya kekhususan dan keragaman dari berbagai
daerah di Indonesia. Jaminan pengaturan yang adil atas hubungan
keuangan, pemanfaatan sumber adaya alam dan sumber daya ekonomi lainnya
antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah (pasal 18A ayat (2)),
pengakuan atas satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
dan istimewa (pasal 18B ayat (1)) serta pengakuan atas masyarakat hukum
ada t beserta hak-hak adatnya yang masih hidup (pasal 18B ayat (2)).
Prinsip
desentralisasi yang dianut dalam UUD ini, nampak jelas pada pemberian
asas otonomi dan asas tugas pembantuan kepada daerah untuk mengurus
pemerintahannya sendiri. Pada saat yang sama, daerah juga diberikan
kewenangan untuk menetapkan peraturan-peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan asas otonomi dan asas tugas
pembantuan itu.
Jaminan Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum
Untuk
menjamin tegaknya Hak Asasi Manusia (HAM), sebagai sebuah pilar Negara
hukum, UUD mengatur mengenai HAM ini dalam satu bab tersendiri yaitu bab
XA, dengan 10 pasal serta 24 ayat. Rumusan mengenai HAM dalam UUD ini
sangat lengkap yang mencakup seluruh aspek HAM yang diakui secara
universal.
Pembatasan
atas pelaksanaan HAM hanya dapat ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban
umum dalam masyarakat demokratis.
Mengakomodir Sistem Hankamrata
Perubahan
ini ini juga mencakup penyempurnaan dalam pengaturan mengenai
pertahanan dan keamanan negara dengan mengokomodir sistem pertahanan dan
kemanan rakyat semesta yang selama ini dianut dalam sistem pertahanan
dan keamanan kita sebagaimana tertuang dalam pasal 39 ayat 2. Ketentuan
ini menegaskan bahwa uasaha pertahanan dan keamanan negara dilasanakan
melalui sistem pertahanan keamanan rakyat semesta oleh Tenatara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan
utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung, dimana TNI sebagai alat
negara yang bertugas mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan
dan kedaulatan negara dan POLRI sebagai alat negara yang menjaga
keamanan dan ketertiban masayarakat bertugas melindungi, mengayomi,
melayani masyarakat serta menegakkan hukum.
Mempertegas Arah Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan Nasional
Perubahan
ini juga menegaskan tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam bidang
pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan nasional. Pemerintah wajib
membiayai pendidikan dasar bagi setiap warga negara. Dalam rangka
mencerdasakan kehidupan bangsa Pemerintah bertanggung jawab untuk
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang
bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia.
Untuk
menjamin percepatan bagi kemajuan pendidikan dan pencerdasan kehidupan
bangsa, maka UUD menetapkan anggaran minimal yang harus disediakan untuk
anggaran pendidikan yaitu 20% dari anggaran pendapatan dan belanja
negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Disamping
itu, pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan
perastuan bangsa untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan ummat
manusia, memajukan kebudayaan nasional dengan menjamin kebebasan
masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.,
serta menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya
nasional.
Mengakomodir Demokrasi Eknomi dan Pembangunan Berkelanjutan
Perubahan
ini juga menyempurnakan arah pembangunan dan sistem ekonomi nasional
yang semula hanya menekankan pada sistem perekonomian sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan, menjadi sistem ekonomi yang
diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional (pasal 31 ayat 4)
Dengan
perubahan ini, diakomodir enan asas penting dalam pembangunan ekonomi
yaitu: demokrasi ekonomi, prinsip kebersamaan, prinsip efisiensi
berkeadilan, prinsip berkelanjutan, prinsip berwawasan lingkungan,
prinsip kemandirian serta prinsip menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
Kesimpulan
Banyak
sekali paradigma politik baru setelah perubahan UUD ini. Paling tidak
ada delapan paradigma yang dapat dikemukakan dari perubahan UUD ini,
yaitu :
a) Prinsip check and balances dalam hubungan antar lembaga Negara;
b) Penguatan system pemerintahan demokratis;
c) Mengukuhkan prinsip kedaulatan rakyat;
d) Menganut prinsip Negara konstitusionalisme
e) Penguatan prinsip negara hukum dan penghormatan atas Hak Asasi Manusia;
f) Pendekatan fungsional dan efisiensi dalam penataan lembaga-lembaga negara, seperti pembuabaran Dewan Pertimbangan Agung (DPA);
g) Jaminan atas pluralisme;
h) Desentralisasi pemerintahan;
i) Peranan negara dalam memajukan pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebuadayaan nasional; serta
j) Asas demokrasi ekonomi dan pembangunan berkelanjutan.
Sementara
itu prinsip Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar Negara tetap
dipertahankan di samping prinsip kemanusiaan, negara kesatuan, keadilan
social serta permusyawaratan yang tertuang dalam pembuakaan tetap
dipertahankan.
Perubahan
paradigma UUD ini harus membawa perubahan pola pikir, perubahan kultur
dari seluruh aparat negara serta perubahan berbagai peraturan
perundang-undangan yang tidak lagi sesuai dengan berbagai paradigma baru
ini.